Selasa, 17 Juli 2018

Kisah Matthakundali


Seorang brahmana bernama Adinnapubbaka mempunyai anak tunggal yang amat dicintai dan disayangi bernama Mattakundali. Sayang, Adinnapubbaka adalah seorang kikir dan tidak pernah memberikan sesuatu kepada orang lain. Bahkan perhiasan emas untuk anak tunggalnya dikerjakan sendiri demi menghemat upah yang harus diberikan kepada tukang emas.

Suatu hari, anaknya jatuh sakit, tetapi tidak satu tabibpun diundang untuk mengobati anaknya. Ketika menyadari anaknya telah mendekati ajal, segera ia membawa anaknya keluar rumah dan dibaringkan di beranda, sehingga orang-orang yang berkunjung ke rumahnya tidak mengetahui keadaan itu.

Sebagaimana biasanya, di waktu pagi sekali, Sang Buddha bermeditasi. Setalah selesai, dengan mata Ke-Buddha-an Beliau melihat ke seluruh penjuru, barangkali ada makhluk yang memerlukan pertolongan. Sang Buddha melihat Matthakundali sedang berbaring sekarat di beranda. Beliau merasa bahwa anak itu memerlukan pertolongannya.

Setelah memakai jubahnya, Sang Buddha memasuki kota Savatthi untuk berpindapatta. Akhirnya Beliau tiba di rumah brahmana Adinnapubbaka. Beliau berdiri di depan pintu rumah dan memperhatikan Matthakundali. Rupanya Matthakundali tidak sadar sedang diperhatikan. Kemudian Sang Buddha memancarkan sinar dari tubuh-Nya, sehingga mengundang perhatian Matthakundali, brahmana muda.

Ketika brahmana muda melihat Sang Buddha timbullah keyakinan yang kuat dalam batinnya. Setelah Sang Buddha pergi, ia meninggal dunia dengan hati yang penuh keyakinan terhadap Sang buddha dan terlahir kembali di alam surga Tavatimsa.

Dari kediamannya di surga, Matthakundali melihat ayahnya berduka-cita atas dirinya di tempat kremasi. Ia merasa iba. Kemudian ia menampakkan dirinya sebagaimana dahulu sebelum ia meninggal, dan memberitahu ayahnya bahwa ia telah terlahir di alam surga Tavatimsa karena keyakinannya kepada Sang Buddha. Maka ia menganjurkan ayahnya mengundang dan berdana makanan kepada Sang Buddha.

Brahmana Adinnapubbaka mengundang Sang Buddha untuk menerima dana makanan.

Selesai makan, ia bertanya, "Bhante, apakah seseorang dapat, atau tidak dapat, terlahir di alam surga; hanya karena berkeyakinan terhadap Buddha tanpa berdana dan tanpa melaksanakan moral (sila)?"

Sang Buddha tersenyum mendengar pertanyaan itu. Kemudian Beliau memanggil dewa Matthakundali agar menampakkan dirinya. Matthakundali segera menampakkan diri, tubuhnya dihiasi dengan perhiasan surgawi, dan menceritakan kepada orang tua dan sanak keluarganya yang hadir, bagaimana ia dapat terlahir di alam surga Tavatimsa. Orang-orang yang memperhatikan dewa tersebut menjadi kagum, bahwa anak brahmana Adinnapubbaka mendapatkan kemuliaan hanya dengan keyakinan terhadap Sang Buddha.

Pertemuan itu diakhiri oleh Sang Buddha dengan membabarkan syair kedua berikut ini:
Pikiran adalah pelopor dari segala sesuatu,
pikiran adalah pemimpin,
pikiran adalah pembentuk.
Bila seseorang berbicara atau berbuat dengan pikiran murni,
maka kebahagiaan akan mengikutinya
bagaikan bayang-bayang yang tak pernah meninggalkan bendanya.

Pada akhir khotbah Dhamma itu, Matthakundali dan Adinnapubbaka langsung mencapai tingkat kesucian sotapatti. Kelak, Adinnapubbaka mendanakan hampir semua kekayaannya bagi kepentingan Dhamma.

Kisah Tissa Thera


Tissa adalah putera kakak perempuan dari ayah Pangeran Siddhattha. Ia menjadi bikkhu pada usia yang telah lanjut, dan suatu saat tinggal bersama-sama Sang Buddha. Walau baru beberapa tahun menjalani kebhikkhuannya, ia bertingkah laku seperti bhikkhu senior dan senang mendapat penghormatan serta pelayanan dari bhikkhu-bhikkhu yang berkunjung kepada Sang Buddha. Sebagai bhikkhu yunior, ia tidak melaksanakan semua kewajibannya, di samping itu ia juga sering bertengkar dengan bhikkhu-bhikkhu muda lainnya

Suatu ketika seorang bhikkhu muda menegur kelakuannya. Hal itu membuat bhikkhu Tissa sangat kecewa dan sedih, dan kemudian ia melaporkan hal itu kepada Sang Buddha. Bhikkhu-bhikkhu lain yang mengetahui permasalahan tersebut, mengikutinya untuk memberikan keterangan yang benar kepada Sang Buddha jika dibutuhkan.

Sang Buddha, yang telah mengetahui kelakuan bhikkhu Tissa menasehatinya agar ia mau mengubah kelakuannya, tidak memiliki pikiran membenci.

Sang Buddha juga mengatakan bahwa bukan pada kehidupan kini saja bhikkhu Tissa mempunyai watak keras kepala, juga pada kehidupan sebelumnya. Bhikkhu Tissa pernah terlahir sebagai seorang pertapa yang keras kepala bernama Devala. Karena suatu kesalahpahaman, ia mencerca seorang pertapa suci. Meskipun raja ikut campur tangan dengan memintakan ampun kepada pertapa suci itu, Devala tetap berkeras kepala dan menolak untuk melakukannya. Hanya dengan paksaan dan tekanan dari raja, Devala barulah mau meminta ampun kepada pertapa suci itu.

Pada akhir wejangannya Sang Buddha membabarkan syair 3 dan 4 berikut ini:
“Ia menghina saya,
ia memukul saya,
ia mengalahkan saya,
ia merampas milik saya.”
Selama seseorang masih menyimpan pikiran seperti itu,
maka kebencian tak akan pernah berakhir.

“Ia menghina saya,
ia memukul saya,
ia mengalahkan saya,
ia merampas milik saya.”
Jika seseorang sudah tidak lagi menyimpan pikiran-pikiran seperti itu,
maka kebencian akan berakhir.

Kisah Kalayakkhini


Ada seorang laki-laki perumah tangga mempunyai istri yang mandul. Karena merasa mandul dan takut diceraikan oleh suaminya, ia menganjurkan suaminya untuk menikah lagi dengan wanita lain yang dipilih olehnya sendiri. Suaminya menyetujui dan tak berapa lama kemudian isteri muda itu mengandung.

Ketika isteri mandul itu mengetahui bahwa madunya hamil, ia menjadi tidak senang. Dikirimkannya makanan yang telah diberi racun, sehingga isteri muda itu keguguran. Demikian pula pada kehamilan yang kedua. Pada kehamilannya yang ketiga, isteri muda itu tidak memberi tahu kepada isteri tua. Karena kondisi phisiknya kehamilan itu diketahui juga oleh isteri tua. Berbagai cara dicoba oleh isteri tua itu agar kandungan madunya itu gugur lagi, yang akhirnya menyebabkan isteri muda itu meninggal pada saat persalinan. Sebelum meninggal, wanita malang itu dengan hati yang dipenuhi kebencian bersumpah untuk membalas dendam kepada isteri tua.

Maka permusuhan itu pun dimulai.

Pada kelahiran berikutnya, isteri tua dan isteri muda tersebut terlahir sebagai seekor ayam betina dan seekor kucing. Kemudian terlahir kembali sebagai seekor macan tutul dan seekor rusa betina, dan akhirnya terlahir sebagai seorang wanita perumah tangga di kota Savatthi dan peri yang bernama Kali.

Suatu ketika sang peri (Kalayakkhini) terlihat sedang mengejar-ngejar wanita tersebut dengan bayinya. Ketika wanita itu mendengar bahwa Sang Buddha sedang membabarkan Dhamma di Vihara Jetavana, ia berlari ke sana dan meletakkan bayinya di kaki Sang Buddha sambil memohon perlindungan.

Sedangkan peri tertahan di depan pintu vihara oleh dewa penjaga vihara. Akhirnya peri diperkenankan masuk, dan kedua wanita itu diberi nasehat oleh Sang Buddha.

Sang Buddha menceritakan asal mula permusuhan mereka pada kehidupan lampau, yaitu sebagai seorang isteri tua dan isteri muda dari seorang suami, sebagai seekor ayam betina dan seekor kucing, sebagai seekor macan tutul dan seekor rusa betina.

Mereka telah dipertemukan untuk melihat bahwa kebencian hanya dapat menyebabkan kebencian yang makin berlarut-larut, tetapi kebencian akan berakhir melalui persahabatan, kasih sayang, saling pengertian, dan niat baik.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair ke 5 berikut ini:
Kebencian tak akan pernah berakhir apabila dibalas dengan kebencian.
Tetapi, kebencian akan berakhir bila dibalas dengan tidak membenci
Inilah satu hukum abadi.


Kedua wanita itu akhirnya menyadari kesalahan mereka, keduanya berdamai, dan permusuhan panjang itu berakhir.

Sang Buddha kemudian meminta kepada wanita itu untuk menyerahkan anaknya untuk digendong peri. Takut akan keselamatan anaknya, wanita itu ragu-ragu. Tetapi, karena keyakinannya yang kuat terhadap Sang Buddha ia segera menyerahkan anaknya kepada peri.

Peri menerima anak itu dengan hangat. Anak itu dicium dan dibelainya dengan penuh kasih sayang, bagaikan anaknya sendiri. Setelah puas, diangsurkan ke ibunya kembali.

Demikianlah, pada akhirnya mereka berdua hidup rukun dan saling mengasihi.

Kisah Pertengkaran di Kosambi


Suatu waktu, bhikkhu-bhikkhu Kosambi terbentuk menjadi dua kelompok. Kelompok yang satu pengikut guru akhli vinaya, sedang kelompok lain pengikut guru akhli Dhamma. Mereka sering berselisih paham sehingga menyebabkan pertengkaran. Mereka juga tak pernah mengacuhkan nasehat Sang Buddha. Berkali-kali Sang Buddha menasehati mereka, tetapi tak pernah berhasil, walaupun Sang Buddha juga mengetahui bahwa pada akhirnya mereka akan menyadari kesalahannya.

Maka Sang Buddha meninggalkan mereka dan menghabiskan masa vassa-Nya sendirian di hutan Rakkhita dekat Palileyyaka. Di sana Sang Buddha dibantu oleh gajah Palileyya.

Umat di Kosambi kecewa dengan kepergian Sang Buddha. Mendengar alasan kepergian Sang Buddha, mereka menolak memberikan kebutuhan hidup para bhikkhu di Kosambi.

Karena hampir tak ada umat yang menyokong kebutuhan para bhikkhu, mereka hidup menderita. Akhirnya mereka menyadari kesalahan mereka, dan menjadi rukun kembali seperti sebelumnya.

Namun, umat tetap tidak memperlakukan mereka sebaik seperti semula, sebelum para bhikkhu mengakui kesalahan mereka di hadapan Sang Buddha. Tetapi, Sang Buddha berada jauh dari mereka dan waktu itu masih pada pertengahan vassa. Terpaksalah para bhikkhu menghabiskan vassa mereka dengan mengalami banyak penderitaan.

Di akhir masa vassa, Yang Ariya Ananda bersama banyak bhikkhu lainnya pergi menemui Sang Buddha, menyampaikan pesan Anathapindika serta para umat yang memohon Sang Buddha agar pulang kembali. Demikianlah, Sang Buddha kembali ke Vihara Jetavana di Savatthi. Di hadapan beliau para bhikkhu berlutut dan mengakui kesalahan mereka.

Sang Buddha mengingatkan, bahwa pada suatu saat mereka semua pasti mengalami kematian, oleh karena itu mereka harus berhenti bertengkar dan jangan berlaku seolah-olah mereka tidak akan pernah mati.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 6 berikut ini:
Sebagian besar orang tidak mengetahui bahwa,
dalam pertengkaran mereka akan binasa;
tetapi mereka,
yang dapat menyadari kebenaran ini;
akan segera mengakhiri semua pertengkaran.


Semua bhikkhu mencapai tingkat kesucian sotapatti, setelah khotbah Dhamma itu berakhir.

Kisah Mahakala Thera


Mahakala dan Culakala adalah dua saudagar bersaudara dari kota Setabya. Suatu ketika dalam perjalanan membawa barang-barang dagangannya, mereka berkesempatan untuk mendengarkan khotbah Dhamma yang diberikan oleh Sang Buddha. Setelah mendengarkan khotbah tersebut, Mahakala memohon kepada Sang Buddha untuk diterima sebagai salah satu anggota pasamuan bhikkhu. Culakala juga ikut bergabung dalam anggota Sangha, tetapi dengan tujuan berkenalan dengan para bhikkhu dan menjaga saudaranya.

Mahakala bersungguh-sungguh dalam latihan pertapaannya di kuburan (Sosanika Dhutanga), dan tekun bermeditasi dengan objek kelapukan dan ketidak-kekalan. Akhirnya ia memperoleh “Pandangan Terang” dan mencapai tingkat kesucian arahat.

Di dalam perjalanan-Nya, Sang Buddha bersama murid-murid-Nya, termasuk Mahakala dan Culakala, singgah di hutan Simsapa, dekat Setabya. Ketika berdiam di sana, bekas istri-istri Culakala mengundang Sang Buddha beserta murid-murid beliau ke rumah mereka untuk menerima dana makanan. Culakala sendiri terlebih dulu pulang untuk mempersiapkan tempat duduk bagi Sang Buddha dan murid-murid-Nya.

Kesempatan itu dipergunakan sebaik-baiknya oleh bekas istri-istri Culakala untuk merayunya, agar ia mau kembali kepada mereka. “Kakanda, alangkah kurusnya engkau sekarang. Tentu selama ini kakanda sangat menderita. Mari, adinda bersedia memijit kakanda untuk menghilangkan lelah, seperti dahulu kala. O, kakanda, marilah kita bergembira seperti dahulu lagi.”

Pada dasarnya Culakala memang tidak tekun dan bersungguh-sungguh dalam melaksanakan kewajibannya sebagai bhikkhu. Mendengar berbagai rayuan dan rangsangan, batinnya tidak kuat. Nafsunya tergugah, tanpa pikir panjang lagi dilemparkannya jubahnya dan kembalilah ia kepada kehidupan duniawi, sebagai perumah tangga.

Melihat para istri Culakala berhasil mendapatkan suaminya kembali, para istri Mahakala pun tidak mau kalah. Pada hari berikutnya, bekas istri-istri Mahakala mengundang Sang Buddha bersama murid-murid-Nya ke rumah mereka, dengan harapan mereka dapat melakukan hal yang sama terhadap Mahakala.

Setelah berdana makanan, mereka meminta kepada Sang Buddha untuk membiarkan Mahakala tinggal sendirian untuk melakukan pelimpahan jasa (anumodana). Sang Buddha mengabulkan. Bersama murid-murid lain beliau meninggalkan tempat tersebut.

Sewaktu tiba di pintu gerbang dusun, para bhikkhu mengungkapkan kekhawatiran dan keprihatinan mereka. Mereka merasa khawatir karena Mahakala telah diijinkan untuk tinggal sendiri. Mereka merasa takut kalau terjadi sesuatu, seperti Culakala saudaranya, sehingga Mahakala juga akan memutuskan untuk meninggalkan pasamuan bhikkhu, kembali hidup bersama bekas istri-istrinya.

Terhadap hal ini, Sang Buddha menjelaskan bahwa kedua saudara itu tidak sama. Culakala masih menuruti kesenangan nafsu keinginan, malas, dan lemah; dia seperti pohon lapuk. Mahakala sebaliknya. Tekun, mantap, dan kuat dalam keyakinannya terhadap Buddha, Dhamma dan Sangha; dia seperti gunung karang.

Kemudian Sang Buddha membabarkan Syair 7 dan 8 berikut ini:
Seseorang yang hidupnya hanya ditujukan pada hal-hal yang menyenangkan,
yang inderanya tidak terkendali,
yang makannya tidak mengenal batas,
malas serta tidak bersemangat,
maka Mara (Penggoda) akan menguasai dirinya.
bagaikan angin yang menumbangkan pohon yang lapuk.
Seseorang yang hidupnya tidak ditujukan pada hal-hal yang menyenangkan,
yang inderanya terkendali,
sederhana dalam makanan,
penuh keyakinan serta bersemangat,
maka Mara (Penggoda) tidak dapat menguasai dirinya.
bagaikan angin yang tidak dapat menumbangkan gunung karang.
Saat itu bekas istri-istri Mahakala mengelilinginya dan berusaha agar Mahakala melepaskan jubah kuningnya. Mahakala mengetahui upaya mereka, maka ia tetap berdiam diri saja. Tetapi, istri-istrinya berusaha lebih keras lagi. Melihat itu, Mahakala merasa tak ada gunanya lagi berdiam disitu. Ia berdiri, dengan kemampuan batin luar biasa, ia melesat ke angkasa melewati atap rumah. Ia tiba tepat di bawah kaki Sang Buddha saat beliau tengah mengakhiri pembabaran dua syair di atas.

Kisah Devadatta


Suatu ketika kedua murid utama Sang Buddha; Yang Ariya Sariputta dan Yang Ariya Maha Moggallana, pergi dari Savatthi menuju Rajagaha. Di sana, orang-orang Rajagaha mengundang mereka, bersama seribu pengikut mereka, untuk menerima makan pagi.

Pada kesempatan itu seseorang menyerahkan selembar kain, seharga seratus ribu, kepada penyelenggara upacara untuk didanakan. Dia mengharapkan mereka mengatur dan menggunakan pemberiannya untuk upacara itu. Kalau masih terdapat kelebihan, diberikan kepada siapa saja dari para bhikkhu yang dianggap layak. Hal itu juga terjadi jika tidak terdapat kekurangan, maka kain tersebut akan diberikan pada salah satu dari para thera. Karena kedua murid utama mengunjungi Rajagaha, hanya pada saat-saat tertentu, maka kain itu akan diberikan pada Devadatta, yang tinggal menetap di Rajagaha.

Devadatta segera membuat kain itu menjadi jubah-jubah dan dengan bangga ia memakainya. Kemudian seorang bhikkhu yang dapat dipercaya dari Rajagaha, datang ke Savatthi memberi hormat kepada Sang Buddha, dan menceritakan kepada-Nya tentang Devadatta dan jubah yang terbuat dari kain seharga seratus ribu.

Sang Buddha berkata bahwa kejadian itu bukan yang pertama kali, Devadatta telah memakai jubah-jubah yang tidak patut diterimanya. Sang Buddha kemudian menghubungkannya dengan kisah berikut ini.

Devadatta pernah menjadi pemburu gajah pada salah satu kehidupannya yang lampau. Pada waktu itu, dalam hutan tertentu, terdapat sekelompok besar gajah. Suatu hari, sang pemburu memperhatikan gajah-gajah ini berlutut kepada Paccekabuddha. Setelah mengamatinya, sang pemburu mencuri bagian paling atas dari jubah kuning, lalu menutupi badannya dan memegangnya. Kemudian dengan memegang tombak pada tangannya, dia menunggu gajah-gajah pada jalur yang biasa dilewati. Gajah-gajah datang dan menganggapnya seorang Pacekabuddha, gajah-gajah itu berlutut dengan membungkukkan badan untuk memberi hormat.

Mereka dengan mudah menjadi mangsa bagi sang pemburu. Ia bunuh gajah-gajah pada barisan terakhir satu per satu setiap harinya, dan hal itu dilakukannya hingga berhari-hari.

Sang Bodhisatta (calon Buddha) adalah pemimpin dari kawanan gajah itu, saat mengetahui kekurangan jumlah pengikutnya, dia memutuskan untuk menyelidiki dan mengikuti kawanannya pada akhir dari barisan. Dia telah berjaga-jaga, dan oleh karena itu dapat menghindari tombak. Dia menangkap sang pemburu dengan belalainya dan melemparkan pemburu itu ke tanah. Melihat jubah kuning, dia berhenti dan menyelamatkan hidup sang pemburu.

Sang pemburu tidak berhasil membunuh dengan menggunakan tipuan jubah kuning, dan perilaku seperti itu adalah perbuatan buruk. Sang pemburu jelas tidak berhak memakai jubah kuning.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 9 dan 10 berikut ini:
Barang siapa yang belum bebas,
dari kekotoran-kekotoran batin.
yang tidak memiliki pengendalian diri,
serta tidak mengerti kebenaran.
sesungguhnya tidak patut,
ia mengenakan jubah kuning.
Tetapi, ia yang telah dapat,
membuang kekotoran-kekotoran batin,
teguh dalam kesusilaan.
memiliki pengendalian diri.
serta mengerti kebenaran.
maka sesungguhnya ia patut,
mengenakan jubah kuning.

Banyak para bhikkhu berhasil mencapai tingkat kesucian sotapatti, setelah khotbah Dhamma itu berakhir.

Kisah Sariputta Thera


Upatissa dan Kolita adalah dua orang pemuda dari dusun Upatissa dan dusun Kolita, dua dusun di dekat Rajagaha. Ketika melihat suatu pertunjukkan, mereka menyadari ketanpa-intian dari segala sesuatu. Lama mereka berdua mendiskusikan hal itu, tetapi hasilnya tidak memuaskan. Akhirnya mereka bersama-sama memutuskan untuk mencari jalan keluarnya.

Pertama-tama, mereka berguru kepada Sanjaya, petapa pengembara di Rajagaha. Tetapi mereka merasa tidak puas dengan apa yang ia ajarkan. Karena itu, mereka pergi mengembara ke seluruh daerah Jambudipa untuk mencari guru lain yang dapat memuaskan mereka.

Lelah melakukan pencarian, akhirnya mereka kembali ke daerah asal mereka, karena tidak menemukan Dhamma yang sebenarnya. Pada saat itu mereka berdua saling berjanji, akan terus mencari. Jika di antara mereka ada yang lebih dahulu menemui kebenaran Dhamma, harus memberitahu yang lainnya.

Suatu hari, Upatissa bertemu dengan Assaji Thera, dan belajar darinya tentang hakekat Dhamma. Sang Thera mengucapkan syair awal, “ Ye Dhamma hetuppabhava”, yang berarti “Segala sesuatu yang terjadi berasal dari suatu sebab.”

Mendengar syair tersebut mata batin Upatissa terbuka. Ia langsung mencapai tingkat kesucian sotapatti magga dan phala.

Sesuai janji bersamanya, ia pergi menemui temannya Kolita, menjelaskan padanya bahwa ia, Upatissa, telah mencapai tahap keadaan tanpa kematian, dan mengulangi syair tersebut di hadapan temannya. Kolita juga berhasil mencapai tingkat kesucian sotapatti pada saat akhir syair itu diucapkan.

Mereka berdua teringat pada bekas guru mereka, Sanjaya, dan berharap ia mau mengikuti jejak mereka. Setelah bertemu, mereka berdua berkata kepadanya, “Kami telah menemukan seseorang yang dapat menunjukkan jalan dari keadaan tanpa kematian; Sang Buddha telah muncul di dunia ini, Dhamma telah muncul; Sangha telah muncul…., mari kita pergi kepada Sang Guru”.

Mereka berharap bahwa bekas guru mereka akan pergi bersama mereka menemui Sang Buddha, dan berkenan mendengarkan ajaran-Nya juga, sehingga akan mencapai tingkat pencapaian magga dan phala. Tetapi Sanjaya menolak.

Oleh karena itu, Upatissa dan Kolita, dengan dua ratus lima puluh pengikutnya, pergi menghadap Sang Buddha di Veluvana.

Di sana mereka ditahbiskan dan bergabung dalam pasamuan para bhikkhu. Upatissa sebagai anak laki-laki dari Rupasari menjadi lebih dikenal sebagai Sariputta. Kolita sebagai anak laki-laki dari Moggalli, lebih dikenal sebagai Moggallana. Dalam tujuh hari setelah menjadi anggota Sangha, Moggallana mencapai tingkat kesucian arahat. Sariputta mencapai tingkat yang sama dua minggu setelah menjadi anggota Sangha.

Kemudian, Sang Buddha menjadikan mereka berdua sebagai dua murid utama-Nya (agga-savaka).

Kedua murid utama itu, kemudian menceritakan kepada Sang Buddha bagaimana mereka pergi ke festival Giragga, pertemuan dengan Assaji Thera, dan pencapaian tingkat kesucian sotapatti. Mereka juga bercerita kepada Sang Buddha tentang bekas guru mereka, Sanjaya, yang menolak ajakan mereka.

Sanjaya pernah berkata, “Telah menjadi Guru dari sekian banyak murid, bagiku untuk menjadi murid-Nya adalah sulit, seperti kendi yang berubah menjadi gelas minuman. Di samping hal itu, hanya sedikit orang yang bijaksana dan sebagian besar adalah bodoh. Biarkan yang bijaksana pergi kepada Sang Gotama yang bijaksana, sedangkan yang bodoh akan tetap datang kepadaku. Pergilah sesuai kehendakmu, murid-muridku”.

Sang Buddha menjelaskan bahwa kesalahan Sanjaya adalah keangkuhannya, yang menghalanginya untuk melihat kebenaran sebagai kebenaran; ia telah melihat ketidak-benaran sebagai kebenaran, dan tidak akan pernah mencapai pada kebenaran yang sesungguhnya.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 11 dan 12 berikut:
Mereka yang menganggap,
ketidak-benaran sebagai kebenaran,
dan kebenaran sebagai ketidak-benaran,
maka mereka yang mempunyai,
pikiran keliru seperti itu,
tak akan pernah dapat,
menyelami kebenaran.
Mereka yang mengetahui,
kebenaran sebagai kebenaran,
dan ketidak-benaran sebagai ketidak-benaran,
maka mereka yang mempunyai,
pikiran benar seperti itu,
akan dapat menyelami kebenaran.

Banyak bhikkhu berhasil mencapai tingkat kesucian sotapatti, setelah khotbah Dhamma itu berakhir.

Kisah Nanda Thera


Suatu ketika Sang Buddha menetap di Vihara Veluvana, Rajagaha. Waktu itu ayah-Nya, Raja Suddhodana, berulangkali mengirim utusan kepada Sang Buddha, meminta beliau mengunjungi kota Kapilavatthu. Memenuhi permintaan ayahnya, Sang Buddha mengadakan perjalanan dengan diikuti oleh sejumlah besar arahat.

Saat tiba di Kapilavatthu, Sang Buddha bercerita tentang Vessantara Jataka di hadapan pertemuan saudara-saudaranya. Pada hari kedua, Sang Buddha memasuki kota, dengan mengucapkan syair berawal “ Uttitthe Nappamajjeyya…” (artinya seseorang harus sadar dan tidak seharusnya menjadi tidak waspada…). Beliau menyebabkan ayah-Nya mencapai tingkat kesucian sotapatti.

Ketika tiba di dalam istana, Sang Buddha mengucapkan syair lainnya berawal “Dhammam Care Sucaritam…” (artinya seseorang seharusnya mempraktekkan Dhamma…), dan sang raja berhasil mencapai tingkat kesucian sakadagami.

Setelah bersantap makanan, Sang Buddha menceritakan tentang Candakinnari Jataka, berkenaan kisah kebajikan ibunya Rahula.

Pada hari ketiga, di istana berlangsung upacara pernikahan Pangeran Nanda, sepupu Sang Buddha. Sang Buddha pergi ke sana untuk menerima dana makanan (pindapatta), dan memberikan mangkok-Nya kepada pangeran Nanda. Kemudian Sang Buddha pergi meninggalkannya tanpa meminta kembali mangkok-Nya.

Karena itu sang pangeran, sambil memegangi mangkok, berjalan mengikuti Sang Buddha. Pengantin putri, Janapadakalyani, melihat sang pangeran pergi mengikuti Sang Buddha, terus berlari dan berteriak pada sang pangeran untuk kembali secepatnya. Ketika tiba di vihara, Sang Pangeran diterima dalam Sangha sebagai seorang bhikkhu.

Kemudian Sang Buddha berpindah ke vihara yang didirikan oleh Anathapindika, di hutan Jeta dekat Savatthi.

Selama tinggal di sana Nanda merasa tidak senang, dan setengah kecewa serta menemukan sedikit kesenangan dalam hidup sebagai seorang bhikkhu. Ia ingin kembali pada kehidupan berumah-tangga, karena ia terus teringat kata-kata dari Putri Janapadakalyani, memohonnya untuk kembali secepatnya. Hatinya menjadi goyah. Dan semakin goyah.

Mengetahui hal tersebut, Sang Buddha dengan kemampuan batin luar biasa, memperlihatkan kepada Nanda beberapa dewi yang cantik dari surga Tavatimsa, jauh lebih cantik daripada putri Janapadakalyani.

Sang Buddha bertanya kepada Nanda, “Siapakah yang lebih cantik, putri Janapadakalyani atau para dewi yang berdiri di hadapanmu itu?”

“Tentu saja mereka jauh lebih cantik dibandingkan dengan putri Janapadakalyani,” jawab Nanda.

Sang Buddha berkata lagi kepada Nanda, “Apabila engkau tekun dalam mempraktekkan Dhamma, Aku berjanji untuk membantumu memiliki dewi-dewi itu.”

Mendengar pernyataan itu, Nanda tertarik dan sekali lagi berjanji akan mematuhi Sang Buddha.

Bhikkhu-bhikkhu yang lain menertawakan Nanda, dengan berkata bahwa ia seperti orang bayaran, yang mempraktekkan Dhamma demi memperoleh wanita cantik, dan sebagainya.

Nanda merasa sangat tertekan dan malu. Karena itu dalam kesendirian, ia mencoba dengan keras mempraktekkan Dhamma, dan akhirnya mencapai tingkat kesucian arahat.

Sebagai seorang arahat, batinnya bebas dari semua ikatan dan keinginan. Dan Sang Buddha juga bebas dari janji-Nya kepada Nanda. Semua ini telah diketahuiNya sejak awal.

Bhikkhu-bhikkhu yang lainnya, yang semula mengetahui bahwa Nanda tidak gembira menjalani hidup sebagai bhikkhu, kembali bertanya bagaimana ia bisa mengatasinya.

Nanda Thera menjawab, bahwa sekarang ia tidak lagi terikat dengan kehidupan berumah-tangga. Mereka berpikir Nanda tidak berkata yang sebenarnya. Karena itu mereka mencari keterangan perihal masalah itu kepada Sang Buddha, dengan menyatakan keragu-raguan mereka.

Sang Buddha menjelaskan kepada mereka bahwa sebelumnya, kenyataan alamiah Nanda, sama seperti atap rumah yang bocor, tetapi sekarang rumah itu telah dibangun dengan atap rumah yang baik.

Penjelasan itu diakhiri dengan syair 13 dan 14 berikut ini:
Bagaikan hujan,
yang dapat menembus rumah beratap tiris.
demikian pula nafsu,
akan dapat menembus pikiran yang tidak dikembangkan dengan baik.
Bagaikan hujan,
yang tidak dapat menembus rumah beratap baik.
demikian pula nafsu,
tidak dapat menembus pikiran yang telah dikembangkan dengan baik.

Kisah Cundasukarika


Pada suatu dusun, tidak jauh dari Vihara Veluvana, hidup seorang penjagal babi yang sangat kejam dan keras hati, bernama Cunda. Ia adalah penjagal babi yang sudah berusia lebih dari lima puluh tahun; selama hidupnya, dia belum pernah melakukan suatu perbuatan yang bermanfaat. Sebelum dia meninggal, dia sakit parah dan mengalami penderitaan yang berat. Dia mendengkur, berteriak-teriak, dan terus menggerakkan tangan dan lututnya untuk merangkak seperti babi selama tujuh hari. Sebelum meninggal dunia, dia mengalami penderitaan seperti kalau dia berada di neraka (niraya). Pada hari ketujuh, penjagal babi itu meninggal dunia, dan dilahirkan kembali di Neraka Avici (Avici Niraya).

Beberapa bhikkhu yang dalam beberapa hari berturut-turut mendengar teriakan-teriakan dan kegaduhan dari rumah Cunda, berpikir, pastilah Cunda sedang sibuk membunuhi lebih banyak babi. Mereka berpendapat bahwa Cunda adalah seorang yang sangat kejam dan keji. Yang tidak mempunyai cinta kasih dan belas kasihan sedikitpun.

Mendengar pergunjingan para bhikkhu tadi, Sang Buddha berkata, "Para bhikkhu, Cunda tidak sedang membunuhi lebih banyak babi. Perbuatan jahatnya yang lampau telah berbuah. Karena rasa sakit yang sangat, akibat penyakit yang dideritanya, ia melakukan hal-hal yang tidak normal. Sekarang ia telah meninggal dan terlahir di alam neraka. Oleh karena itu, seseorang yang melakukan perbuatan jahat, akan selalu menderita akibat dari perbuatan jahat yang dilakukannya; dia menderita dalam dunia ini, sama seperti pada alam berikutnya."

Hal itu diwejangkan oleh Sang Buddha dengan membabarkan syair 15 berikut ini:
Di dunia ini ia bersedih hati.
di dunia sana ia bersedih hati.
pelaku kejahatan akan bersedih hati,
di kedua dunia itu.
ia bersedih hati dan meratap,
karena melihat perbuatannya sendiri,
yang tidak bersih.

Kisah Upasaka Dhammika


Di Savatthi ada seseorang yang bernama Dhammika. Ia seorang umat yang berbudi luhur dan sangat gemar memberikan dana. Selain sering memberikan dana makanan serta kebutuhan lain kepada para bhikkhu secara tetap, juga sering berdana pada waktu-waktu istimewa. Pada kenyataannya, ia merupakan pemimpin dari lima ratus umat Buddha yang berbudi luhur, dan tinggal di dekat Savatthi.

Dhammika mempunyai tujuh orang putra, dan tujuh orang putri. Sama seperti ayahnya, mereka semuanya berbudi luhur dan tekun berdana. Ketika Dhammika jatuh sakit, dan berbaring di tempat tidurnya, ia membuat permohonan kepada Sangha, untuk datang kepadanya, untuk membacakan paritta-paritta suci di samping pembaringannya.

Ketika para bhikkhu membacakan “Mahasatipatthana Sutta”, enam kereta berkuda yang penuh hiasan dari enam alam surga, datang mengundangnya pergi ke masing-masing alam. Dhammika berkata kepada mereka untuk menunggu sebentar, takut kalau mengganggu pembacaan sutta. Bhikkhu-bhikkhu itu berpikir bahwa mereka disuruh untuk berhenti, maka mereka berhenti, dan kemudian meninggalkan tempat itu.

Sesaat kemudian, Dhammika memberitahu anak-anaknya, tentang enam kereta kuda yang penuh hiasan sedang menunggunya. Ia memutuskan untuk memilih kereta kuda dari surga Tusita, dan menyuruh salah satu dari anaknya memasukkan karangan bunga pada kereta kuda tersebut. Kemudian ia meninggal dunia, dan terlahir kembali di surga Tusita.

Demikianlah orang berbudi luhur berbahagia di dunia ini, sama seperti di alam berikutnya.

Hal ini dibabarkan Sang Buddha sebagai syair 16 berikut:
Di dunia ini ia bergembira.
Di dunia sana ia bergembira.
Pelaku kebajikan,
bergembira di kedua dunia itu.
Ia bergembira dan bersuka cita karena,
melihat perbuatannya sendiri yang bersih.

Kisah Devadatta


Suatu saat Devadatta menetap bersama Sang Buddha di Kosambi. Selama tinggal di sana ia menyadari bahwa Sang Buddha menerima banyak perhatian dan penghormatan maupun pemberian. Dia merasa iri hati terhadap Sang Buddha dan bercita-cita untuk memimpin Sangha yang terdiri dari bhikkhu-bhikkhu.

Suatu hari, ketika Sang Buddha sedang memberikan khotbah di Vihara Veluvana di dekat Rajagaha, dia mendekati Sang Buddha dan dengan alasan bahwa Sang Buddha sudah semakin tua, dia sangat berharap Sangha akan dipercayakan kepada pengawasannya.

Sang Buddha menolak usulnya serta menegur, bahwa dia telah menelan air ludah orang lain. Sang Buddha kemudian meminta Sangha melaksanakan rencana melakukan pengumuman (pakasaniya kamma) sehubungan dengan kelakuan Devadatta.

Devadatta merasa tersinggung serta bersumpah membalas dendam dan menantang Sang Buddha. Tiga kali, dia mencoba untuk membunuh Sang Buddha.

Pertama, dengan menggunakan beberapa pemanah sewaan. Kedua, dengan memanjat ke atas bukit Gijjhakuta dan menjatuhkan sebuah batu besar kepada Sang Buddha; dan ketiga, dengan memabukkan Gajah Nalagiri untuk menyerang Sang Buddha.

Pemanah sewaan kembali setelah mencapai tingkat kesucian sotapatti, tanpa menyakiti Sang Buddha.

Batu besar yang didorong jatuh oleh Devadatta melukai sedikit ibu jari kaki Sang Buddha, dan ketika gajah Nalagiri lari menuju Sang Buddha, ia dibuat jinak oleh Sang Buddha.

Dengan demikian Devadatta gagal untuk membunuh Sang Buddha. Dia mencoba siasat lainnya, mencoba memecah belah Sangha dengan cara membawa pergi beberapa bhikkhu baru, menyingkir bersamanya ke Gayasisa.

Bagaimanapun juga, banyak di antara mereka telah dibawa pulang kembali oleh Sariputta Thera dan Maha Moggalana Thera.

Kemudian, Devadatta jatuh sakit. Setelah menderita sakit selama sembilan bulan, dia meminta murid-muridnya untuk membawanya menghadap Sang Buddha di Vihara Jetavana.

Mendengar kabar bahwa Devadatta akan tiba, Sang Buddha berkata kepada murid- murid-Nya bahwa Devadatta tidak akan pernah mendapat kesempatan untuk menemui-Nya.

Ketika Devadatta dan rombongannya mencapai kolam di dekat Vihara Jetavana, para pengangkutnya meletakkan tandu tempat berbaringnya di tepi kolam, dan mereka pergi mandi. Devadatta bangun dari tempat berbaringnya, dan menaruhkan kedua kakinya di tanah.

Pada saat itu juga kakinya masuk ke dalam bumi, dan sedikit demi sedikit dia ditelan bumi. Devadatta tidak memiliki kesempatan untuk melihat Sang Buddha karena perbuatan jahat yang telah dia lakukan terhadap Sang Buddha. Setelah kematiannya, dia terlahir di Neraka Avici (Avici Niraya), tempat yang penuh dengan penyiksaan terus menerus.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 17 berikut :
Di dunia ini ia menderita, di dunia sana ia menderita;
pelaku kejahatan menderita di kedua dunia itu.
Ia meratap ketika berpikir,"Aku telah berbuat jahat,"
dan ia akan lebih menderita lagi ketika berada di alam sengsara.

Kisah Sumanadevi


Dekat Savatthi, di rumah Anathapindika dan rumah Visakha, dua ribu bhikkhu memperoleh pelayanan makanan setiap hari.

Di rumah Visakha, dana makanan diatur pemberiannya oleh cucu perempuannya. Di rumah Anathapindika, pengaturan dana makanan dilakukan, pertama oleh anak perempuan Anathapindika tertua, kemudian oleh anak perempuan kedua, dan akhirnya oleh Sumanadevi, anak perempuan yang termuda. Kedua saudara perempuannya yang lebih tua mencapai tingkat kesucian sotapati dengan mendengarkan Dhamma, setelah melayani dana makan para bhikkhu. Sumanadevi melakukan lebih baik dan mencapai tingkat kesucian sakadagami.

Suatu ketika Sumanadevi jatuh sakit, dan di tempat tidurnya ia memohon kehadiran ayahnya. Ayahnya datang, ia memanggil langsung ayahnya sebagai “Adik laki-laki” (kanitha bhatika), kemudian ia meninggal dunia.

Istilah panggilan itu membuat ayahnya khawatir, gelisah, dan berduka cita, memikirkan bahwa putrinya telah mengigau, dan tidak dalam waktu kesadaran yang tepat pada saat kematiannya. Ia menghampiri Sang Buddha, dan menceritakan perihal putrinya, Sumanadevi.

Sang Buddha berkata kepada orang kaya yang berbudi luhur itu, bahwa putrinya telah dalam kesadaran dan sepenuhnya tenang pada saat ia meninggal dunia. Sang Buddha juga menjelaskan bahwa Sumanadevi telah menyebut ayahnya dengan sebutan “adik laki-laki” karena ia mencapai tingkat kesucian yang lebih tinggi daripada tingkat kesucian ayahnya. Ia adalah seorang sakadagami, sedangkan ayahnya hanya seorang sotapanna. Anathapindika juga diberitahu bahwa Sumanadevi telah dilahirkan kembali di surga Tusita.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 18 berikut:
Di dunia ini ia bahagia.
Di dunia sana ia berbahagia.
Pelaku kebajikan,
berbahagia di kedua dunia itu.
Ia akan berbahagia ketika berpikir,
“Aku telah berbuat bajik”,
dan ia akan lebih berbahagia lagi,
ketika berada di alam bahagia.

Kisah Dua Orang Sahabat


Suatu ketika, terdapat dua orang sahabat yang berasal dari keluarga terpelajar, dua bhikkhu dari Savatthi. Salah satu dari mereka mempelajari Dhamma yang pernah dikhotbahkan oleh Sang Buddha, dan sangat akhli/pandai dalam menguraikan dan mengkhotbahkan Dhamma tersebut. Dia mengajar lima ratus bhikkhu dan menjadi pembimbing bagi delapan belas group dari para bhikkhu tersebut.

Bhikkhu lainnya berusaha keras, tekun, dan sangat rajin dalam meditasi, sehingga ia mencapai tingkat kesucian arahat dengan memiliki pandangan terang analitis.

Pada suatu kesempatan, ketika bhikkhu kedua datang untuk memberi hormat kepada Sang Buddha di Vihara Jetavana, kedua bhikkhu tersebut bertemu. Bhikkhu akhli Dhamma tidak mengetahui bahwa bhikkhu sahabatnya telah menjadi seorang arahat. Dia memandang rendah bhikkhu kedua itu, dia berpikir bahwa bhikkhu tua ini hanya mengetahui sedikit Dhamma. Maka dia berpikir akan mengajukan pertanyaan kepada sahabatnya, bahkan ingin membuat malu.

Sang Buddha mengetahui tentang maksud tidak baik itu, Sang Buddha juga mengetahui bahwa hasilnya akan membuat kesulitan bagi pengikut luhur seperti bhikkhu terpelajar itu. Dia akan terlahir kembali di alam kehidupan yang lebih rendah.

Dengan dilandasi kasih sayang, Sang Buddha mengunjungi kedua bhikkhu tersebut untuk mencegah sang terpelajar bertanya kepada bhikkhu sahabatnya. Sang Buddha sendiri bertanya perihal “Penunggalan Kesadaran” (jhana) dan “Jalan Kesucian” (magga) kepada guru Dhamma; tetapi dia tidak dapat menjawab, karena dia tidak mempraktekkan apa yang telah diajarkan.

Bhikkhu sahabatnya telah mempraktekkan Dhamma, dan telah mencapai tingkat kesucian arahat, dapat menjawab semua pertanyaan. Sang Buddha memuji bhikkhu yang telah mempraktekkan Dhamma (vipassaka), tetapi tidak satu kata pujianpun yang diucapkan Beliau untuk orang yang terpelajar (ganthika).

Murid-murid yang berada di tempat itu tidak mengerti, mengapa Sang Buddha memuji bhikkhu tua dan tidak memuji kepada guru yang telah mengajari mereka. Karena itu, Sang Buddha menjelaskan permasalahannya kepada mereka.

Pelajar yang banyak belajar, tetapi tidak mempraktekkannya sesuai Dhamma adalah seperti pengembala sapi, yang menjaga sapi-sapi untuk memperoleh upah. Sedangkan seseorang yang mempraktekkan sesuai Dhamma adalah seperti pemilik yang menikmati lima manfaat dari hasil pemeliharaan sapi-sapi tersebut. Jadi orang terpelajar hanya menikmati pelayanan yang diberikan oleh murid-muridnya, bukan manfaat dari “Jalan” dan “Hasil Kesucian” (magga-phala).

Bhikkhu lainnya berpikir, dia mengetahui sedikit, dan hanya bisa sedikit dalam menguraikan Dhamma, telah memahami dengan jelas inti dari Dhamma dan telah mempraktekkannya dengan tekun dan penuh semangat; adalah seseorang yang berkelakuan sesuai Dhamma (anudhammacari). Yang telah menghancurkan nafsu indria, kebencian, dan ketidak-tahuan, pikirannya telah bebas dari kekotoran batin, dan dari semua ikatan terhadap dunia ini, maupun pada yang selanjutnya, ia benar-benar memperoleh manfaat dari “Jalan” dan “Hasil Kesucian” (magga-phala).

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 19 dan 20 berikut ini:
Biarpun seseorang banyak membaca kitab suci,
tetapi tidak berbuat sesuai ajaran,
maka orang lengah itu,
sama seperti gembala sapi yang menghitung sapi milik orang lain.
Ia tak akan memperoleh,
manfaat kehidupan suci.
Biarpun seseorang sedikit membaca kitab suci,
tetapi berbuat sesuai dengan ajaran,
menyingkirkan nafsu indria,
kebencian dan ketidaktahuan,
memiliki pengetahuan benar,
dan batin yang bebas dari nafsu,
tidak melekat pada apapun,
baik di sini maupun di sana;
maka ia akan memperoleh,
manfaat kehidupan suci.
Sumber : Dhammapada Atthakattha

Minggu, 17 Juni 2018

Kisah Kelompok Enam Bhikkhu

Kisah Kelompok Enam Bhikkhu


Suatu ketika terdapat tujuh belas bhikkhu sedang membersihkan suatu bangunan komplek Vihara Jetavana dengan tujuan agar dapat menempatinya. Pada saat yang bersamaan tiba di tempat itu pula kelompok enam bhikkhu. Kelompok enam bhikkhu mengatakan kepada kelompok pertama, “ Kami adalah senior kalian, jadi sebaiknya kalian memberi kemudahan kepada kami, tempat ini akan kami pergunakan. 

Kelompok tujuh belas bhikkhu tidak mau memberikan tempat tersebut, sehingga chabbaggi bhikkhu memukuli mereka dan membuat mereka berteriak-teriak kesakitan.

Sang Buddha mendengar perihal itu, kemudian Beliau memberi teguran kepada mereka, dan menetapkan peraturan bahwa bhikkhu tidak boleh memukul bhikkhu lain.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 129 berikut:

Semua orang takut akan hukuman; 
semua orang takut akan kematian. 
Setelah membandingkan orang lain dengan diri sendiri, 
hendaknya seseorang tidak membunuh atau mengakibatkan pembunuhan.

Kisah Kelompok Enam Bhikkhu


Beberapa saat setelah kejadian pertama di atas, kedua kelompok bhikkhu yang sama sedang berada pada suatu tempat. Setelah larangan untuk memukul sesama bhikkhu ditetapkan, kelompok enam bhikkhu melakukan ancaman terhadap kelompok tujuh belas bhikkhu dengan cara mengangkat tangan mereka. Kelompok tujuh belas bhikkhu yang lebih junior daripada kelompok enam bhikkhu lari ketakutan.

Sang Buddha mendengar hal ini, Beliau menetapkan peraturan bahwa para bhikkhu dilarang mengangkat tangannya untuk mengancam.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 130 berikut:

Semua orang takut akan hukuman;
semua orang mencintai kehidupan.
Setelah membandingkan orang lain dengan diri sendiri,
hendaknya seseorang tidak membunuh atau mengakibatkan pembunuhan.

Kisah Para Pemuda


Suatu waktu, Sang Buddha sedang menerima dana makanan di Savatthi. Ketika itu Beliau berjalan melewati sekelompok pemuda yang sedang memukul ular dengan tongkat. Sang Buddha bertanya kepada mereka perihal itu, dan mereka menjawab, mereka memukul ular itu karena takut ular itu menggigitnya. Kepada mereka, Sang Buddha berkata, “ Jika kalian tidak ingin luka, seharusnya kalian tidak melukai yang lain, jika kalian melukai mereka, kalian tidak akan mendapat kebahagiaan. Juga di kelak kemudian hari. 

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 131 dan 132 berikut ini:

Barang siapa mencari kebahagiaan untuk dirinya sendiri dengan jalan menganiaya makhluk lain yang juga mendambakan kebahagiaan, 
maka setelah mati ia tak akan memperoleh kebahagiaan. 

Barang siapa mencari kebahagiaan untuk dirinya sendiri dengan jalan tidak menganiaya makhluk lain yang juga mendambakan kebahagiaan, 

maka setelah mati ia akan memperoleh kebahagiaan.







Kisah Kondadhana Thera


Sejak Kondadhana Thera diterima dalam pasamuan Sangha, ada bayangan wanita yang selalu mengikuti beliau. Bayangan ini hanya dapat dilihat oleh orang lain, sedangkan Kondadhana Thera sendiri tidak melihatnya.

Ketika beliau berpindapatta, orang-orang memberikan dua sendok makanan kepada beliau, dengan mengatakan, “Ini untuk Bhante, dan yang ini untuk wanita yang mengikuti Bhante. 

Melihat seorang bhikkhu bepergian dengan seorang wanita, para penduduk menghadap kepada Raja Pasenadi dari Kosala dan melaporkan perihal bhikkhu dengan wanita tersebut, “ O, Raja, usir saja bhikkhu itu dari kerajaanmu karena beliau tidak memiliki moral. 

Raja segera pergi ke vihara tempat bhikkhu itu berdiam dan para pengawalnya mengepung vihara tersebut.

Mendengar suara ribut, bhikkhu itu keluar dan berdiri di depan pintu, dan bayangan wanita itu berada tidak jauh dari bhikkhu tersebut. Mengetahui raja yang datang, bhikkhu tersebut masuk dan menunggu di dalam. Raja masuk ke dalam ruangan, dan bayangan wanita itu tidak terdapat dalam tempat itu.

Kemudian Raja bertanya kepada bhikkhu itu, di mana wanita tersebut berada, bhikkhu itu menjawab bahwa ia tidak melihat wanita.

Raja menginginkan kepastian, ia menyuruh bhikkhu tersebut keluar ruangan. Kemudian bhikkhu tersebut keluar ruangan, dan ketika raja melihat keluar tertampak bayangan wanita di dekat bhikkhu itu.

Akan tetapi ketika bhikkhu memasuki ruangan kembali, bayangan tersebut tidak diketemukan. Raja kemudian mengatakan bahwa wanita itu tidak benar-benar ada, dan bhikkhu tersebut tidak bersalah. Raja mengundang bhikkhu itu untuk datang ke istana, dan menerima dana makanan setiap hari.

Ketika bhikkhu lain mendengar hal itu, mereka ragu-ragu dan bingung, dan mereka berkata kepada Kondadhana Thera: “ O, bhikkhu yang tidak bermoral! Sekarang raja akan menyuruhmu keluar dari kerajaan ini setelah engkau menerima dana makanan, karena engkau bersalah! 

Kondadhana Thera berkata dengan pedas: “ Hanya engkau satu-satunya yang tidak bermoral, hanya kamu yang bersalah, sebab hanya engkau yang bepergian dengan wanita! 

Para bhikkhu kemudian menceritakan masalah ini kepada Sang Buddha.

Sang Buddha mengundang Kondadhana Thera dan bertanya, “ Anakku, apakah engkau melihat wanita bersama dengan para bhikkhu ketika engkau berbicara dengan mereka? Apakah engkau melihat wanita bersama mereka seperti mereka melihat engkau bersama wanita. Saya mengetahui bahwa engkau tidak menyadari telah menciptakan masalah sebagai akibat perbuatan jahatmu dalam kehidupan yang lampau. Sekarang dengarlah, Saya akan menjelaskan kepadamu mengapa ada bayangan wanita yang mengikuti dirimu. Engkau adalah dewa dalam kehidupan lampaumu. Pada waktu itu ada dua orang bhikkhu yang sangat akrab. Engkau berusaha membuat masalah di antara mereka berdua, engkau menyamar sebagai seorang wanita yang mengikuti salah seorang bhikkhu itu. Atas perbuatanmu itu, engkau sekarang diikuti oleh bayangan wanita. Jadi, selanjutnya engkau jangan berdebat dengan bhikkhu lain atas permasalahan itu. Diamlah seperti gong yang pecah, dan engkau akan merealisasi nibbana. 

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 133 dan 134 berikut ini:

Jangan berbicara kasar kepada siapapun, 
karena mereka yang mendapat perlakuan demikian, 
akan membalas dengan cara yang sama. 
Sungguh menyakitkan ucapan kasar itu, yang pada gilirannya akan melukaimu. 

Apabila engkau berdiam diri bagaikan sebuah gong pecah, 

berarti engkau telah mencapai nibbana, 
sebab keinginan membalas dendam tak terdapat lagi dalam dirimu.







Kisah Para Wanita yang Melaksanakan Peraturan Moral


Suatu ketika lima ratus wanita dari Savatthi berkunjung ke Vihara Pubbarama untuk melaksanakan tekad peraturan moral uposatha. Pendiri vihara itu adalah seorang wanita terkenal, Visakha, bertanya kepada kelompok-kelompok wanita itu mengapa mereka datang untuk melaksanakan kewajiban hari uposatha.

Visakha memperoleh jawab berbeda-beda dari kelompok-kelompok wanita yang berbeda jenjang usianya, karena mereka datang dengan alasan yang bermacam-macam.

Kelompok wanita yang jenjang usianya sudah tua melaksanakan kewajiban hari uposatha karena berharap memperoleh keuntungan/rejeki dan kebahagiaan surgawi lahir kembali sebagai dewa setelah meninggal dunia.

Kelompok wanita yang berjenjang usia setengah baya berharap tidak tinggal bersama dalam satu rumah dengan istri lain dari sang suami tercinta.

Kelompok wanita yang baru menikah berharap mendapatkan anak pertama laki-laki, dan kelompok wanita yang belum menikah berharap bisa menikah dengan suami yang baik.

Mendapat jawab seperti itu, Visakha membawa para wanita tersebut menghadap Sang Buddha. Ketika Visakha memberitahukan kepada Sang Buddha tentang jawaban yang bermacam-macam dari kelompok-kelompok wanita itu, Sang Buddha berkata, “ Visakha! Kelahiran, ketuaan, dan kematian selalu terjadi pada setiap makhluk hidup, karena setiap makhluk yang dilahirkan, ia akan menjadi subjek dari ketuaan, dan kelapukan, dan akhirnya kematian. Saat ini para wanita itu belum mengharapkan kebebasan dari lingkaran tumimbal lahir (samsara), mereka masih menyukai dan terikat dengan lingkaran tumimbal lahir (samsara). 

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 135 berikut:

Bagaikan seorang penggembala menghalau sapinya dengan tongkat ke padang rumput, 
begitu juga umur tua dan kematian menghalau kehidupan setiap makhluk.






Kisah Peta Ular


Suatu ketika, Maha Moggallana Thera pergi ke bukit Gijjhakuta bersama Lakkhana Thera, Moggallana Thera melihat makhluk halus setan berwujud ular dan ia tersenyum, tetapi tidak mengatakan apapun. Ketika mereka kembali ke Vihara Jetavana, Maha Moggallana Thera bercerita kepada Lakkhana Thera di hadapan Sang Buddha perihal makhluk halus yang memiliki tubuh panjang dan dikelilingi oleh api tersebut.

Sang Buddha kemudian mengatakan, setelah Beliau mencapai Penerangan Sempurna, Beliau juga telah bertemu dengan bermacam peta, tetapi Beliau tidak memberitahukan keberadaan makhluk halus itu kepada penduduk karena mungkin tidak mempercayainya, dan mereka bisa beranggapan keliru terhadap Sang Buddha.

Demi kasih sayangnya terhadap semua makhluk hidup, maka Sang Buddha berdiam diri. Kemudian Beliau melanjutkan, “ Sekarang aku telah mempunyai saksi yaitu Moggallana, saya akan menceritakan tentang peta ular ini. 

“ Pada masa hidup Buddha Kassapa, peta itu terlahir menjadi seorang pencuri yang sangat kejam, dia membakar rumah orang kaya sebanyak tujuh kali. Tidak puas terhadap hal itu, dia juga membakar kuti harum Buddha Kassapa yang dibangun oleh orang kaya tersebut pada saat Buddha Kassapa sedang pergi berpindapatta. Sebagai akibat perbuatan jahatnya, dia mengalami penderitaan dalam waktu lama di alam neraka (niraya). Sekarang dia terlahir sebagai peta yang memiliki badan yang terbakar oleh kobaran api ke atas dan ke bawah sepanjang badannya. Para bhikkhu, orang bodoh bila melakukan kejahatan tidak mengerti bahwa perbuatan itu adalah perbuatan jahat; tetapi mereka tetap tidak akan dapat terlepas dari akibat kejahatannya itu. 

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 136 berikut:

Apabila orang bodoh melakukan kejahatan, 
ia tak mengerti akan akibat perbuatannya. 
Orang bodoh akan tersiksa oleh perbuatannya sendiri, seperti orang yang terbakar oleh api.





Kisah Maha Moggalana Thera


Suatu saat petapa Nigantaha merencanakan untuk membunuh Maha Moggallana Thera dengan tujuan akan menghilangkan kemashuran dan keberuntungan Sang Buddha. Mereka menyewa para perampok untuk membunuh Maha Moggallana yang kala itu berdiam di Kalasila dekat Rajagaha.

Perampok itu mengepung vihara tempat Maha Moggallana Thera berdiam, tetapi Maha Moggallana dengan kemampuan batin luar biasanya dapat menghilang, sehingga mereka tidak dapat menangkap Maha Moggallana dalam waktu dua bulan.

Ketika para perampok kembali mengepung vihara pada bulan ketiga, Maha Moggallana Thera mengetahui bahwa ia harus menerima akibat perbuatan (kamma) jahat yang dilakukannya pada salah satu kehidupan lampaunya, maka beliau tidak menggunakan kelebihan batinnya, sehingga para perampok berhasil menangkap dan menganiayanya dengan kejam. Setelah itu tubuhnya dibuang ke semak-semak, karena dianggap telah menjadi mayat.

Dengan kekuatan batin/jhananya, Maha Moggallana dapat bangkit kembali dan pergi menghadap Sang Buddha di Vihara Jetavana. Tetapi Maha Moggallana juga menyadari akibat dari penganiayaan yang dideritanya, beliau tidak akan dapat hidup lebih lama lagi. Maka beliau memberitahu Sang Buddha bahwa beliau akan segera meninggal dunia (parinibbana) di Kalasila.

Sang Buddha kemudian menganjurkan agar beliau membabarkan Dhamma terlebih dahulu sebelum parinibbana. Maha Moggallana membabarkan Dhamma kepada para bhikkhu, setelah itu bersujud (namaskara) kepada Sang Buddha sebanyak tujuh kali.

Berita wafatnya Maha Moggallana Thera di tangan para perampok menyebar bagaikan kobaran api. Raja Ajatasattu menyuruh orang-orangnya agar menyelidiki hal ini, mereka berhasil menangkap para perampok dan menghukum mati dengan cara membakarnya.

Para bhikkhu mendengar wafatnya Maha Moggallana Thera sangat sedih dan tidak mengerti mengapa orang seperti beliau meninggal dunia di tangan para perampok.

Kepada mereka Sang Buddha kemudian mengatakan, “ Para bhikkhu pada kehidupan saat ini beliau hidup dengan kemuliaan sehingga beliau tidak akan mengalami kematian lagi. Akan tetapi pada kehidupan yang lampau ia telah melakukan kejahatan besar terhadap kedua orang tuanya yang buta kedua-duanya. Pada awalnya beliau adalah seorang anak berbakti, tetapi setelah ia menikah, istrinya membuat permasalahan, istrinya mendorong agar ia berpisah dengan orang tuanya. Kemudian ia membawa kedua orang tuanya yang buta pergi ke hutan dengan pedati, di sana kedua orang tuanya dibunuh dengan cara dipukul. Sebelumnya, dengan tipu muslihat ia meyakinkan kedua orang tuanya, seolah-olah mereka akan dibunuh oleh penjahat. Untuk perbuatan jahat yang dilakukannya ini, ia telah menderita di alam neraka untuk waktu lama, dan pada kehidupan saat ini beliau harus mengalami kematian di tangan perampok. Tentunya dengan melakukan perbuatan jahat terhadap mereka yang tidak jahat, seseorang pasti akan menderita karenanya. 

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 137, 138, 139, dan 140 berikut ini:

Seseorang yang menghukum mereka yang tidak patut dihukum dan tidak bersalah, akan segera memperoleh salah satu di antara sepuluh keadaan berikut: 

Ia akan mengalami penderitaan hebat, kecelakaan, luka berat, sakit berat, atau bahkan hilang ingatan. 


Atau ditindak oleh raja, 

atau mendapat tuduhan yang berat, 
atau kehilangan sanak saudara, 
atau harta kekayaannya habis. 

Atau rumahnya musnah terbakar, 

dan setelah tubuhnya hancur, 
orang bodoh ini akan terlahir kembali di alam neraka.




Kisah Bhikkhu Bahubhandika


Seorang pria yang kaya di Savatthi setelah kematian istrinya mengambil keputusan untuk menjadi seorang bhikkhu. Sebelum dia menjadi bhikkhu, dia mendirikan sebuah vihara, termasuk dapur dan ruang penyimpanan. Dia juga membawa perabotan, beras, minyak, mentega, dan berbagai kebutuhan sehari-harinya. Apa pun yang dia kehendaki, pelayan-pelayan akan memenuhinya. Jadi meskipun dia hidup sebagai bhikkhu, dia hidup dengan berlebihan dan memiliki berbagai macam harta sehingga beliau dikenal dengan nama “Bahubhandika”.

Suatu hari bhikkhu-bhikkhu lain membawanya menghadap Sang Buddha dan kemudian menceritakan kehidupan Bhikkhu Bahubhandikka yang penuh dengan kemewahan sebagai mana layaknya kehidupan orang kaya.

Sang Buddha mengatakan kepada Bahubhandika, “ Anakku, Aku mengajarkan tentang kehidupan yang sederhana, mengapa engkau membawa begitu banyak harta milikmu? 

Ketika mendapat teguran ini dia marah dan berkata, “ Bhante, aku akan hidup sebagai mana kehendak-Mu.” Kemudian dia melepas dan membuang jubah atasnya.

Melihat hal tersebut, Sang Buddha mengatakan kepada Bahubhandika, “ Anakku, pada kehidupan yang lampau engkau adalah raksasa, meskipun sebagai raksasa tetapi engkau memiliki rasa takut dan malu berbuat jahat. Akan tetapi sekarang engkau menjadi bhikkhu dalam ajaran-Ku, mengapa engkau membuang semua rasa malu dan takut berbuat jahat itu? 

Mendengar kata-kata itu, dia menjadi sadar akan kesalahannya. Rasa malu dan takutnya muncul kembali. Ia memberi hormat kepada Sang Buddha serta meminta maaf,

Kemudian Sang Buddha berkata, “ Berdiri di situ tanpa jubah atas adalah tidak pantas, membuang jubah tidak membuat engkau menjadi bhikkhu yang sederhana, seorang bhikkhu juga harus menghilangkan keragu-raguannya. 

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 141 berikut:

Bukan dengan cara telanjang, rambut dijalin, badan kotor berlumpur, berpuasa, berbaring di tanah, melumuri tubuh dengan debu, ataupun berjongkok di atas tumit, 
seseorang yang belum bebas dari keragu-raguan dapat mensucikan diri. 

Banyak orang pada waktu itu mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma berakhir.

Kisah Menteri Santati


Suatu ketika Menteri Santati berhasil kembali dari penumpasan pemberontak di perbatasan. Raja Pasenadi begitu bangga terhadapnya, memberi kekayaan dan kegemilangan kepada menterinya serta mengadakan pesta selama 7 hari dengan para gadis penari. Selama tujuh hari menteri itu bersenang-senang, bermabuk-mabukan, dan bergembira dengan gadis-gadis penari muda belia.

Pada hari ketujuh, dengan menunggang gajah kerajaan, dia pergi mandi ke tepi sungai. Di tengah perjalanan dia bertemu dengan Sang Buddha yang sedang berpindapatta.

Santati menganggukkan badannya sebagai tanda menberi hormat kepada Sang Buddha.

Sang Buddha tersenyum, dan Ananda bertanya mengapa Sang Buddha tersenyum. Lalu Sang Buddha berkata, “Ananda, menteri ini akan menemuiku hari ini, dan setelah aku memberikan sedikit pelajaran, dia akan mencapai tingkat kesucian arahat dan kemudian dia akan meninggal dunia (parinibbana). 

Pesta Menteri Santati berlangsung sepanjang hari di tepi sungai, mandi, makan minum dan menyenangkan hati mereka. Pada sore hari pestanya berlangsung di taman, minum lebih banyak dan menari dengan gadis penari.

Gadis penari mencoba untuk menyenangkan menteri, selama seminggu gadis penari melakukan diet makan agar tampak menarik. Akan tetapi pada saat menari, dia terserang kejang-kejang dan pingsan. Akhirnya dia meninggal dunia dengan mata dan mulut yang terbuka. Menteri itu tertekan batinnya dan kecewa berat.

Pada saat itu ia memerlukan perlindungan dan teringat kepada Sang Buddha. Dia pergi menemui Sang Buddha bersama dengan pengikut-pengikutnya, dan menceritakan penderitaan yang mereka alami setelah terjadi kematian gadis penarinya.

Dia berkata, “ Bhante, tolong hilangkan penderitaanku, jadilah pelindungku, berikan ketenangan di hatiku. 

Kepadanya Sang Budha berkata, “ Istirahatlah anakku, engkau telah datang kepada seseorang yang dapat menolongmu, seseorang yang dapat menghiburmu dan menjadi pelindungmu. Air mata yang telah engkau tumpahkan pada saat penari itu meninggal dunia, bersamaan dengan air mata selama kelahiran kembali yang berulang-ulang lebih banyak jumlahnya daripada air yang terdapat dalam samudera. 

Sang Buddha kemudian mengucapkan syair ini:

“ Pada saat lampau terdapat dalam dirimu kemelekatan (upadana) yang disebabkan keserakahan; lenyapkanlah hal itu. Pada saat mendatang, janganlah bawa kemelekatan dalam dirimu. Jangan pula menempatkan kemelekatan terhadap apapun pada saat sekarang; dengan tidak memiliki kemelekatan, keserakahan dan kebencian akan lenyap dalam dirimu, dan engkau akan merealisasi “Kebebasan Mutlak” (nibbana). 

Setelah mendengar syair itu, menteri mencapai tingkat kesucian arahat.

Setelah mengetahui bahwa usia kehidupannya akan berakhir, Santati berkata kepada Sang Buddha, “ Bhante, sekarang izinkanlah saya merealisasi “Kebebasan Akhir” (parinibbana), karena saatnya telah tiba. 

Sang Buddha merestuinya, kemudian Santati terbang setinggi tujuh pohon palm di angkasa dan di sana Santati bermeditasi dengan objek perwujudan api (tejo kasina), akhirnya beliau merealisasi “Kebebasan Akhir” (parinibbana). Tubuhnya berkobar, darahnya dan daging menguap terbakar, dan tulangnya menjadi relik (dhatu) beterbangan di angkasa dan terjatuh pada sehelai kain bersih yang telah direntangkan oleh para bhikkhu atas petunjuk Sang Buddha.

Pada saat pertemuan, para bhikkhu bertanya kepada Sang Buddha, “ Bhante, Menteri Santati telah merealisasi “Kebebasan Akhir” (parinibbana) dengan berpakaian penuh tanda-tanda kebesaran, apakah dia seorang samana atau brahmana? 

Kepada mereka, Sang Buddha menjawab, “ Para bhikkhu, anakku dapat disebut, baik seorang samana atau pun seorang brahmana. 

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 142 berikut:

Walau digoda dengan cara bagaimanapun, 
tetapi bila seseorang dapat menjaga ketenangan pikirannya, damai, mantap, terkendali, suci murni dan tidak lagi menyakiti makhluk lain, 
sesungguhnya ia adalah seorang brahmana, seorang samana, seorang bhikkhu.




Kisah Pilotikatissa Thera


Suatu saat Ananda Thera melihat seorang pemuda yang berpakaian buruk berjalan meminta makanan. Beliau merasa iba melihat pemuda tersebut, dan mengajaknya menjadi seorang samanera. Samanera muda tersebut meninggalkan pakaian dan mangkuknya pada sebuah dahan pohon. Ketika ditahbis menjadi seorang bhikkhu ia dikenal dengan nama Pilotikatissa.

Sebagai seorang bhikkhu, ia tidak kekurangan makanan dan pakaian. Namun pada suatu saat ia merasa tidak bahagia hidup sebagai seorang bhikkhu dan berkeinginan kembali hidup sebagai umat biasa. Ketika perasaannya timbul, ia pergi ke pohon dimana ia meninggalkan pakaian dan mangkuknya.

Ketika sampai di sana, timbul pertanyaan dalam hatinya, “ Oh, orang tak tahu malu, apakah engkau mau meninggalkan kedamaian demi pakaian dan mangkuk? Apakah engkau masih mau memakai pakaian kotor dan mangkuk tua di tanganmu? ” Kemudian ia memarahi diri sendiri. Setelah dirinya tenang, ia kembali ke vihara.

Dua atau tiga hari setelah kejadian tersebut, perasaan itu timbul kembali. Ia kemudian pergi ke pohon itu kembali dan bertanya pada dirinya sendiri perihal pertanyaan yang sama. Seperti kejadian pertama, ia memarahi dirinya sendiri dan setelah menenangkan diri, ia kembali ke vihara. Kejadian ini terulang beberapa kali.

Ketika bhikkhu-bhikkhu lain menanyakan kepadanya, mengapa ia sering pergi ke pohon tersebut, ia memberitahu mereka bahwa ia pergi menemui gurunya (dianggap sebagai “guru”, karena membuat ia malu dan kembali ke jalan yang benar).

Dengan tetap memikirkan pakaian dan mangkuk sebagai objek meditasi, ia menyadari hakikat dari corak kenyataan kelompok kehidupan/khanda (sebagai tidak kekal/anicca, tidak memuaskan/dukkha, tidak ada aku/anatta), yang mengkondisikan ia mencapai tingkat kesucian arahat. Kemudian ia tidak lagi pergi ke pohon “guru”.

Melihat hal itu, bhikkhu-bhikkhu lain bertanya kepada Pilotikatissa: “ Mengapa engkau tidak pergi menemui gurumu lagi?

Kepada mereka ia menjawab: “ Saat saya membutuhkan, saya akan pergi kepadanya, tapi saat ini saya sudah tidak mempunyai kebutuhan lagi untuk pergi kepadanya. 

Saat mendengar jawaban tersebut, bhikkhu-bhikkhu itu membawa Pilotikatissa menghadap Sang Buddha. Saat mereka tiba, mereka memberi hormat kepada Sang Buddha dan berkata, “ Bhante, bhikkhu ini mengaku telah mencapai tingkat kesucian arahat, ia pasti telah berbohong. 

Akan tetapi Sang Buddha berkata, “ Para bhikkhu, Pilotikatissa tidak berbohong, ia berkata benar. Walaupun ia mempunyai hubungan baik dengan gurunya saat lalu, namun saat ini ia tidak mempunyai hubungan lagi dengan gurunya. Pilotikatissa Thera telah memiliki pengertian membedakan penyebab yang benar dan yang salah serta menyadari corak kenyataan segala sesuatu sebagaimana apa adanya. Sekarang ia telah mencapai tingkat kesucian arahat, oleh karena itu ia tidak memiliki hubungan lagi dengan gurunya. 

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 143 dan 144 berikut ini:

Dalam dunia ini jarang ditemukan seseorang yang dapat mengendalikan diri dengan memiliki rasa malu untuk berbuat jahat, 
yang senantiasa waspada, 
bagaikan seekor kuda yang terlatih baik dapat menghindari cemeti. 

Bagaikan seekor kuda yang terlatih baik, 

walaupun sekali saja merasakan cambukan, 
segera menjadi bersemangat dan berlari cepat, 
demikian pula halnya dengan orang yang rajin, penuh keyakinan, memiliki sila, semangat, konsentrasi dan menyelidiki Ajaran Benar, 
dengan bekal pengetahuan dan tingkah laku sempurna serta memiliki kesadaran, 
akan segera meninggalkan penderitaan yang berat ini.






Kisah Samanera Sukha


Sukha menjadi samanera pada usia 7 tahun dan ditahbiskan oleh Sariputta Thera. Setelah 8 hari menjadi samanera, ia bersama Sariputta Thera pergi berpindapatta. Ketika sedang berjalan berkeliling, mereka melihat para petani sedang mengairi sawahnya, para pemanah sedang meluruskan anak panah, dan beberapa tukang kayu sedang membuat roda pedati, dan sebagainya.

Setelah melihat semua ini, ia bertanya kepada Sariputta Thera, apakah hal-hal (barang-barang) itu dapat diarahkan ke sesuatu tujuan tertentu sesuai dengan keinginan seseorang, atau dapat dibuat menjadi sesuatu sesuai dengan keinginan seseorang.

Sang Thera menjawab memang demikian. Kemudian Samanera muda memahami bahwa dengan demikian tidak ada alasan mengapa seseorang tidak dapat mengendalikan batinnya, serta melatih “Meditasi Ketenangan” dan “Meditasi Pandangan Terang”.

Kemudian, ia meminta izin kepada Sariputta Thera untuk pulang kembali ke vihara. Di sana ia masuk ke dalam kamarnya dan berlatih meditasi dalam ketenangan.

Dewa Sakka dan para dewa membantu latihan meditasinya dengan cara menjaga suasana vihara agar tetap tenang.

Pada hari kedelapan setelah ia menjadi samanera, Sukha mencapai tingkat kesucian arahat.

Berhubungan dengan hal ini, Sang Buddha berkata kepada para bhikkhu: “ Ketika seseorang melaksanakan Dhamma dengan sungguh-sungguh, maka Sakka dan para dewa akan menolong dan melindunginya. Saya sendiri telah meminta Sariputta Thera berjaga di depan pintu kamarnya, sehingga ia tidak terganggu. Samanera telah melihat para petani bekerja dengan giat mengairi sawahnya, para pemanah meluruskan anak panahnya, tukang kayu membuat roda pedati, dan lain-lain, kemudian ia berusaha melatih batinnya dan melaksanakan Dhamma. Ia telah mencapai tingkat kesucian arahat. 

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 145 berikut ini:

Pembuat saluran air mengatur jalannya air, 
tukang panah meluruskan anak panah, 
tukang kayu melengkungkan kayu, 
orang bajik mengendalikan dirinya sendiri.

Kisah Culekasataka

Kisah Culekasataka


Di Savatthi berdiam sepasang suami istri brahmana. Mereka hanya mempunyai sebuah pakaian luar yang digunakan oleh mereka berdua. Karena itu mereka dikenal dengan nama Ekasataka. Karena mereka hanya mempunyai sebuah pakaian luar, mereka tidak dapat keluar berdua pada saat bersamaan. Jadi, bila si istri pergi mendengarkan khotbah Sang Buddha pada siang hari, maka si suami pergi pada malam hari.

Pada suatu malam, ketika brahmana mendengarkan khotbah Sang Buddha, seluruh badannya diliputi keriangan yang sangat menyenangkan dan timbul keinginan yang kuat untuk memberikan pakaian luar yang dikenakannya kepada Sang Buddha. Tetapi dia menyadari jika dia memberikan pakaian luar yang satu-satunya dia miliki berarti tidak ada lagi pakaian luar yang tertinggal buat dia dan istrinya. Dia ragu-ragu dan bimbang.

Malam jaga pertama dan malam jaga kedua pun berlalu, pada malam jaga ketiga, brahmana berkata pada dirinya sendiri, “ Jika saya bimbang dan ragu-ragu, saya tidak akan dapat menghindar terlahir ke empat alam rendah (Apaya), saya akan memberikan pakaian luar saya kepada Sang Buddha. 

Setelah berkata begitu, dia meletakkan pakaian luarnya ke kaki Sang Buddha dan dia berteriak, “ Saya menang! Saya menang! Saya menang!

Waktu itu Raja Pasenadi dari Kosala juga berada diantara para pendengar khotbah. mendengar teriakan tersebut ia menyuruh pengawalnya untuk menyelidiki. Mengetahui perihal pemberian brahmana kepada Sang Buddha, raja berkomentar bahwa brahmana tersebut telah berbuat sesuatu yang tidak mudah untuk dilakukan oleh orang lain sehingga harus diberi penghargaan.

Raja memerintahkan pengawalnya untuk memberikan sepotong pakaian kepada brahmana sebagai hadiah atas keyakinan dan kedermawanannya. Brahmana menerimanya lalu memberikan lagi pakaian tersebut kepada Sang Buddha.

Dia mendapat hadiah lagi dari Raja berupa dua potong pakaian. Brahmana memberikan lagi kedua potong pakaian kepada Sang Buddha, dan dia memperoleh hadiah empat potong lagi.

Jadi dia memberikan kepada sang Buddha apa saja yang diberikan raja kepadanya, dan tiap kali raja melipat-duakan hadiahnya.

Akhirnya hadiah meningkat menjadi tiga puluh dua potong pakaian, brahmana mengambil satu potong untuknya dan satu potong untuk istrinya, dan selebihnya diberikan kepada Sang Buddha.

Kemudian raja berkomentar lagi bahwa brahmana benar-benar melakukan suatu perbuatan yang sulit dan juga harus diberi hadiah yang pantas. Raja mengirim seorang utusan untuk membawa dua potong pakaian beludru yang berharga mahal, dan memberikannya kepada brahmana.

Brahmana membuat kedua pakaian tersebut menjadi dua penutup tempat tidur dan meletakkan satu di kamar harum tempat Sang Buddha tidur, dan satunya lagi diletakkan di tempat para bhikkhu menerima dana makanan di rumah brahmana.

Ketika raja pergi berkunjung ke Vihara Jetavana untuk memberi penghormatan kepada Sang Buddha, raja melihat tutup tempat tidur beludru dan mengenalinya bahwa barang itu adalah pemberiannya kepada brahmana, dia merasa sangat senang. Kali ini, raja memberikan hadiah tujuh macam yang masing-masing berjumlah empat buah (sabbacatukka) yaitu empat ekor gajah, empat ekor kuda, empat orang pelayan wanita, empat orang pelayan laki-laki, empat orang pesuruh laki-laki, empat desa, dan empat ribu uang tunai.

Ketika para bhikkhu mendengar hal tersebut, mereka bertanya kepada sang Buddha, “ Bagaimana hal ini bisa terjadi, dalam kasus brahmana ini, perbuatan baik yang dilakukan saat ini menghasilkan pahala yang sangat cepat? 

Sang Buddha menjawab, “ Jika Brahmana memberikan baju luarnya pada malam jaga pertama dia akan diberi hadiah enam belas buah untuk tiap macam barang, jika dia memberi pada malam jaga kedua dia akan diberi delapan buah untuk tiap macam barang. Ketika dia memberikan pada malam jaga terakhir dia diberi hadiah empat buah untuk tiap macam barang. 

Jadi, jika seseorang ingin berdana, lakukanlah secepatnya, jika seseorang menunda-nunda pahalanya datang perlahan dan hanya sebagian. Juga, jika seseorang terlalu lambat dalam melakukan perbuatan baik, mungkin dia tidak akan sanggup untuk melakukannya secara keseluruhan, karena pikiran orang cenderung senang dengan melakukan perbuatan yang tidak baik. 


Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 116 berikut:

Bergegaslah berbuat kebajikan, 
dan kendalikan pikiranmu dari kejahatan; 
barang siapa lamban berbuat bajik,
maka pikirannya akan senang dalam kejahatan.






Kisah Seyyasaka Thera


Ketika itu ada seorang Thera yang bernama Seyyasaka yang mempunyai kebiasaan masturbasi. Ketika mendengar hal tersebut, Sang Buddha menegurnya, karena melakukan sesuatu yang mengakibatkan seseorang jauh dari memperoleh magga dan phala. Pada saat itu juga, Sang Buddha menetapkan peraturan larangan menikmati kesenangan seksual bagi para bhikkhu, peraturan sanghadisesa. Pelanggaran (apatti) peraturan itu menyebabkan hukuman dan diskors oleh Sangha. Kemudian Sang Buddha menambahkan, “ Jenis pelanggaran ini dapat mengakibatkan hasil perbuatan jahat di dunia ini maupun di masa mendatang. 

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 117 berikut:

Apabila seseorang berbuat jahat,
hendaklah ia tidak mengulangi perbuatannya itu,
dan jangan merasa senang dengan perbuatan itu,
sungguh menyakitkan akibat dari memupuk perbuatan jahat.






Kisah Lajadevadhita


Suatu ketika Mahakassapa Thera sedang berdiam di gua Pippali dan berada dalam suasana batin khusuk bermeditasi mencapai konsentrasi tercerap (samapatti) selama tujuh hari. Segera setelah beliau bangun dari samapatti, beliau berkeinginan memberi kesempatan pada seseorang untuk mendanakan sesuatu kepada orang yang baru bangkit dari samapatti.

Beliau melihat keluar dan menemukan seorang pelayan muda sedang menabur jagung di halaman rumah. Maka Thera berdiri di depan pintu rumahnya untuk menerima dana makanan. Wanita itu meletakkan seluruh jagungnya ke mangkuk Thera. Ketika wanita itu pulang setelah mendanakan jagung kepada thera, dia dipatuk oleh seekor ular berbisa dan meninggal dunia. Dia terlahir kembali di alam surga Tavatimsa dan dikenal sebagai Lajadevadhita. “Laja” berarti jagung.

Laja menyadari bahwa dia terlahir kembali di alam surga Tavatimsa karena dia telah berdana jagung kepada Mahakassapa Thera, maka ia sangat menghormati Mahakassapa Thera. Kemudian Laja memutuskan, dia harus melakukan jasa baik kepada Thera agar kebahagiaannya dapat bertahan. Jadi setiap pagi wanita itu pergi ke vihara tempat Thera berdiam, menyapu halaman vihara, mengisi air dalam kolam mandi, dan melakukan jasa-jasa lainnya.

Pada mulanya thera berpikir samanera-samanera yang melakukan pekerjaan tersebut. Tetapi pada suatu hari thera mengetahui yang melakukan pekerjaan tersebut adalah dewi wanita. Kemudian thera memberi tahu dewi wanita tersebut untuk tidak datang ke vihara itu lagi. Orang-orang akan membicarakan hal-hal yang tidak baik jika dia tetap datang ke vihara.

Mendengar hal itu, Lajadevadhita sangat sedih, menangis dan memohon kepada Thera, “ Tolong jangan hancurkan kekayaan dan harta benda saya. 

Sang Buddha mendengar tangisannya dan kemudian mengirim cahaya dari kamar harum Beliau dan berkata kepada dewi wanita tersebut, “ Devadhita, itu adalah tugas murid-Ku Kassapa untuk melarangmu ke vihara, melakukan perbuatan baik adalah tugas seseorang yang berniat besar memperoleh buah perbuatan baik. Tetapi, sebagai seorang gadis, tidak patut untuk datang sendirian dan melakukan berbagai pekerjaan di vihara. 

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 118 berikut:

Apabila seseorang berbuat bajik, 
hendaklah dia mengulangi perbuatannya itu dan bersuka cita dengan perbuatannya itu, 
sungguh membahagiakan akibat dari memupuk perbuatan bajik. 

Lajadevadhita mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.




Kisah Anathapindika


Anathapindika adalah pendana Vihara Jetavana yang didirikan dengan biaya lima puluh empat crores. Ia tidak hanya dermawan tetapi juga benar-benar berbakti kepada Sang Buddha.

Dia pergi ke Vihara Jetavana dan memberikan penghormatan kepada Sang Buddha tiga kali sehari. Pada pagi hari dia membawa bubur nasi, siang hari dia membawa beberapa macam makanan yang pantas atau obat-obatan, dan pada malam hari dia membawa bunga dan dupa.

Setelah beberapa lama Anathapindika menjadi miskin, tetapi sebagai orang yang telah mencapai tingkat kesucian Sotapanna, batinnya tidak terguncang dengan kemiskinannya, dan dia terus melakukan perbuatan rutinnya setiap hari yaitu berdana.

Suatu malam, satu makhluk halus penjaga pintu rumah Anathapindika menampakkan diri dalam ujud manusia menemui Anathapindika, dan berkata: “ Saya adalah penjaga pintu rumahmu, kamu telah memberikan kekayaanmu kepada Samana Gotama tanpa memikirkan masa depanmu. Hal itulah yang menyebabkan kamu miskin sekarang. Oleh karena itu kamu seharusnya tidak memberikan dana lagi kepada Samana Gotama dan kamu seharusnya memperhatikan urusanmu sendiri sehingga menjadi kaya kembali. 

Anathapindika menghalau penjaga pintu tersebut keluar dari rumahnya. Karena Anathapindika sudah mencapai tingkat kesucian sotapanna, makhluk halus penjaga pintu tersebut tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Dia pun pergi meninggalkan rumah tersebut. Dia tidak mempunyai tempat tujuan pergi dan ingin kembali ke rumah Anathapindika, tetapi dia takut pada Anathapindika. Jadi dia mendekati Raja Sakka, raja para dewa.

Sakka memberi saran kepadanya, pertama dia harus berbuat baik kepada Anathapindika dan setelah itu meminta maaf kepadanya. Kemudian Sakka melanjutkan, “ Ada kira-kira delapan belas crores yang dipinjam oleh beberapa pedagang yang belum dikembalikan kepada Anathapindika, delapan belas crores lainnya disembunyikan oleh leluhur (nenek moyang) Anathapindika, dan telah dihanyutkan ke dalam laut. Dan delapan belas crores lainnya yang bukan milik siapa-siapa yang dikuburkan di tempat tertentu. Pergi dan kumpulkanlah semua kekayaan ini dengan kemampuan batin luar biasamu, penuhilah ruangan-ruangan Anathapindika. Setelah melakukan itu, kamu boleh meminta maaf padanya. 

Makhluk halus penjaga pintu tersebut melakukan petunjuk Sakka, dan Anathapindika kembali menjadi kaya.

Ketika makhluk halus penjaga pintu memberi tahu Anathapindika mengenai keterangan dan petunjuk yang diberikan oleh Sakka, perihal pengumpulan kekayaannya dari dalam bumi, dari dasar samudra, dan dari peminjam-peminjamnya. Anathapindika terkesan dengan perasaan kagum. Kemudian Anathapindika membawa makhluk halus penjaga pintu tersebut menghadap Sang Buddha

Kepada mereka berdua, Sang Buddha berkata, “ Seseorang tidak akan menikmati keuntungan dari perbuatan baiknya, atau menderita akibat dari perbuatan jahat untuk selamanya, tetapi akan tibalah waktunya kapan perbuatan baik atau buruknya berbuah dan menjadi matang. 

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 119 dan 120 berikut:

Pembuat kejahatan hanya melihat hal yang baik, selama buah perbuatan jahatnya belum masak, 
tetapi bilamana hasil perbuatannya itu telah masak, 
ia akan melihat akibat-akibatnya yang buruk. 

Pembuat kebajikan hanya melihat hal yang buruk, selama buah perbuatan bajiknya belum masak, 

tetapi bilamana hasil perbuatannya itu telah masak, 
ia akan melihat akibat-akibatnya yang baik. 

Makhluk halus penjaga pintu rumah itu mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma tersebut berakhir.

Kisah Bhikkhu Yang Ceroboh


Ada seorang bhikkhu, setelah menggunakan barang-barang perabotan, seperti tempat tidur, kursi panjang, dan peralatan milik vihara, meninggalkannya begitu saja barang-barang itu dengan tidak mengembalikannya ke tempat semula. Membiarkannya terkena hujan dan matahari, dan menjadi sarang semut-semut putih. Ketika bhikkhu-bhikkhu lain menegurnya karena kebiasaannya yang tidak bertanggung jawab, dia akan menjawab dengan cepat dan tajam:

“ Saya tidak mempunyai maksud untuk menghancurkan barang-barang tersebut, lagipula barang-barang itu hanya akan mengalami kerusakan kecil ”, dan lain-lain. Selanjutnya dia meneruskan kebiasaan yang sama.

Ketika Sang Buddha datang dan mengetahui hal tersebut, Beliau berkata kepada bhikkhu tersebut:

“ Kamu seharusnya tidak meremehkan perbuatan buruk, waktu sekecil apapun, karena itu akan menjadi besar jika kamu melakukannya sebagai kebiasaan. 

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 121 berikut:

Jangan meremehkan kejahatan walaupun kecil, dengan berkata: 
“Perbuatan jahat tidak akan membawa akibat”. 
Bagaikan sebuah tempayan akan terisi penuh oleh air yang jatuh setetes demi setetes, 
demikian pula orang bodoh sedikit demi sedikit memenuhi dirinya dengan kejahatan.




Kisah Bilalapadaka


Suatu waktu, seseorang yang berasal dari Savatthi, setelah mendengarkan khotbah yang disampaikan oleh Sang Buddha, sangat terkesan dan memutuskan untuk menerapkan apa yang telah diajarkan oleh Sang Buddha.

Isi khotbah itu adalah memberi dana tidak hanya dilakukan oleh diri sendiri tetapi hendaknya juga menghimbau orang lain untuk melakukannya. Dengan melakukan hal tersebut, seseorang akan memperoleh banyak pahala dan memperoleh banyak pengikut pada kehidupan yang akan datang.

Oleh karena itu orang tersebut mengundang Sang Buddha beserta seluruh bhikkhu yang berdiam di Vihara Jetavana untuk menerima dana makanan keesokan harinya.

Kemudian orang itu pergi ke rumah-rumah tetangganya, dan memberitahu bahwa dana makanan (pindapatta) akan dilakukan keesokan hari kepada Sang Buddha beserta para bhikkhu. Oleh karena itu, siapa yang akan turut berperan-serta tergantung kepada masing-masing orang.

Seorang kaya yang bernama Bilalapadaka melihat laki-laki tersebut pergi berkeliling dari rumah ke rumah. Ia tidak setuju atas kelakuannya itu dan juga merasa tidak senang. Ia menggerutu, “ O, orang malang! Kenapa dia tidak mengundang beberapa bhikkhu saja sebanyak kesanggupan dia sendiri memberi dana, daripada pergi berkeliling membujuk orang lain? 

Lalu dia meminta laki-laki itu untuk membawa mangkoknya dan dia memasukkan ke dalam mangkok tersebut sedikit nasi, hanya sedikit mentega, sedikit air dan tebu. Barang tersebut dibawa secara terpisah dan tidak dicampur dengan yang diberikan orang-orang lain.

Orang kaya tersebut tidak mengerti kenapa barang-barangnya diperlakukan secara terpisah. Ia mengira laki-laki tersebut akan memberitahu orang lain bahwa orang kaya seperti dirinya memberi sumbangan hanya sedikit dan membuatnya malu. Oleh karena itu, orang kaya Bilalapadaka mengutus pelayannya untuk menyelidiki.

Penganjur berdana itu meletakkan makanan yang sedikit pemberian orang kaya tersebut ke dalam mangkuk-mangkuk nasi, kari, dan daging manis, agar orang kaya tersebut mendapat banyak pahala. Pelayan orang kaya melaporkan apa yang telah dilihatnya. Tetapi majikannya, Bilalapadaka, tidak mengerti artinya dan tidak yakin maksud penganjur tersebut. Walau demikian, keesokan harinya dia pergi ke tempat di mana dana makanan dilakukan. Pada saat yang sama, dia membawa sebilah pisau yang akan dipergunakan untuk membunuh penganjur, apabila penganjur berdana itu mengumumkan di depan umum betapa sedikit yang diberikan oleh orang kaya seperti dirinya.

Tetapi penganjur berdana ini berkata kepada Sang Buddha, “ Bhante, dana makanan ini merupakan gabungan dari semua, walaupun ada yang memberi banyak atau pun sedikit tidaklah dihitung. Tiap orang dari kami memberi dengan keyakinan dan kerendahan hati. Jadi semoga kami semua memperoleh pahala yang sama. 

Ketika mendengar kalimat tersebut, Bilalapadaka menyadari bahwa dia telah berpikiran keliru terhadap laki-laki itu. Ia merenungkan jika ia tidak mengakui kekeliruannya itu dan memohon penganjur berdana itu untuk memaafkannya, maka dia bisa terlahir di salah satu dari empat alam kehidupan rendah (apaya).

Lalu dia berkata, “ Temanku, saya telah melakukan kesalahan besar terhadapmu dengan berpikir keliru tentang kamu, maafkanlah saya. 

Sang Buddha mendengar orang kaya tersebut meminta maaf, dan dari penyelidikannya Beliau mengetahui alasannya. Lalu Sang Buddha berkata, “ Pengikutku, kamu seharusnya tidak meremehkan perbuatan baik walau sekecil apapun; perbuatan baik yang kecil akan menjadi besar, jika kamu melakukannya sebagai kebiasaan. 

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 122 berikut:

Janganlah meremehkan kebajikan walaupun kecil dengan berkata: 
“Perbuatan bajik tidak akan membawa akibat.” 
Bagaikan sebuah tempayan akan terisi penuh oleh air yang dijatuhkan setetes demi setetes, 
demikian pula orang bijaksana sedikit demi sedikit memenuhi dirinya dengan kebajikan.





Kisah Mahadhana


Mahadhana adalah seorang pedagang kaya dari Savatthi. Pada suatu kesempatan, lima ratus perampok telah merencanakan untuk merampoknya, tetapi mereka tidak mempunyai kesempatan untuk merampoknya.

Pada saat lain para perampok itu mendengar bahwa pedagang Mahadhana akan segera bepergian dengan lima ratus kereta penuh dengan barang-barang berharga. Pedagang Mahadhana juga mengajak bhikkhu-bhikhu yang akan bepergian pada tujuan yang sama untuk pergi bersama dengannya. Dan dia berjanji untuk memperhatikan kebutuhan bhikkhu-bhikkhu selama dalam perjalanan. Lalu ke lima ratus bhikkhu pergi bersama dengannya.

Perampok-perampok memperoleh berita perjalanan mereka dan pergi mendahului di depan untuk menunggu rombongan pedagang. Tetapi pedagang itu berhenti di pinggir hutan tempat perampok-perampok itu sedang menunggu. Rombongan akan melanjutkan perjalanannya setelah bermalam beberapa hari.

Perampok-perampok memperoleh berita keberangkatan mendatang, dan membuat persiapan untuk merampok rombongan tersebut. Pedagang juga mendengar kabar gerakan penjahat-penjahat tersebut dan memutuskan untuk kembali ke rumah.

Penjahat-penjahat sekarang mendengar bahwa pedagang akan pulang ke rumah, lalu mereka menunggu di jalan yang menuju rumah. Beberapa orang desa mengirim berita kepada pedagang mengenai gerakan para penjahat, dan akhirnya pedagang memutuskan untuk tinggal di desa beberapa waktu.

Ketika pedagang memberitahu keputusannya kepada para bhikkhu, bhikkhu-bhikkhu itu sendiri pulang kembali ke Savatthi. Sesampai di Vihara Jetavana, para bhikkhu menemui Sang Buddha dan memberitahu Beliau perihal tertunda-nya perjalanan mereka. Kepada mereka, Sang Buddha berkata: “ Para bhikkhu, Mahadhana menghindar dari perjalanan yang dikepung oleh para penjahat. Seseorang yang tidak ingin meninggal dunia menghindar dari racun. Para bhikkhu bijaksana, yang menyadari bahwa tiga tingkat alam kehidupan serupa dengan perjalanan yang dikepung dengan bahaya, hendaknya berusaha keras menghindar dari berbuat jahat. 

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 123 berikut:

Bagaikan seorang saudagar yang dengan sedikit pengawal membawa banyak harta, menghindari jalan yang berbahaya, 
demikian pula orang yang mencintai hidup, 
hendaknya menghindari racun dan hal-hal yang jahat. 

Lima ratus bhikkhu tersebut mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.

Kisah Kukkutamitta


Di Rajagaha terdapat seorang putri orang kaya yang telah mencapai tingkat kesucian sotapatti pada usia yang masih muda. Suatu hari, Kukkutamitta, seorang pemburu datang ke kota dengan kereta untuk menjual daging rusa. Melihat Kukkutamitta, si pemburu itu, wanita kaya yang masih muda ini jatuh hati seketika.

Dia mengikuti Kukkutamitta, menikah dengannya dan berumah tangga di sebuah desa kecil. Dari hasil perkawinannya, lahirlah tujuh orang anak laki-laki, dan setelah tiba waktunya semua anak mereka menikah.

Suatu hari, Sang Buddha meninjau sekeliling alam kehidupan pada dini hari dengan kemampuan batin luar biasa-Nya. Beliau menemukan bahwa si pemburu, ketujuh putranya dan istri-istri mereka sudah memiliki kesiapan batin untuk mencapai tingkat kesucian sotapatti.

Paginya, Sang Buddha pergi ke tempat di mana pemburu telah menyusun perangkap buruannya di dalam hutan. Sang Buddha meletakkan jejak kaki Beliau di dekat perangkap, lalu duduk di bawah semak-semak yang rindang, tidak jauh dari perangkap tersebut.

Ketika pemburu datang, dia melihat tidak ada binatang di dalam perangkap. Sebaliknya, dia melihat jejak kaki dan menduga bahwa seseorang telah datang sebelumnya dan melepaskan binatang tersebut.

Ketika dia melihat Sang Buddha duduk di bawah semak-semak yang rindang, dia mengira Beliaulah orang yang telah melepaskan binatang dari dalam perangkap. Dengan marah pemburu itu mengeluarkan busur dan anak panahnya untuk memanah Sang Buddha.

Tetapi sewaktu dia menarik anak panahnya, dia menjadi tidak bisa bergerak dan tetap berdiam pada posisi seperti patung.

Anak-anak pemburu itu menyusul dan menemukan ayah mereka. Mereka juga melihat Sang Buddha pada jarak tertentu dan mengira Beliau pastilah musuh ayah mereka. Mereka semua mengambil busur-busur dan anak-anak panah, dan mereka membidik Sang Buddha. Tetapi mereka juga tidak bisa bergerak dan menjadi seperti patung.

Ketika pemburu dan putra-putranya tidak kembali, istri pemburu menyusul mereka ke dalam hutan bersama dengan ketujuh menantunya. Melihat suami dan semua anaknya dengan anak panah mereka membidik Sang Buddha, dia mengangkat kedua tangannya dan berteriak, “ Jangan membunuh ayahku.

Ketika sang suami mendengar kata-kata istrinya, dia berpikir “ Ini pastilah ayah mertua saya”, dan anak-anaknya berpikir “Ini pastilah kakek kami”, dan kemudian cinta kasih timbul pada mereka.

Kemudian wanita itu berkata kepada mereka, “ Singkirkan busur dan anak-anak panah kalian, dan beri penghormatan kepada ayah saya. 

Sang Buddha menyadari bahwa pada waktu itu, pikiran pemburu dan ketujuh anaknya melembut dan mereka tergerak menyingkirkan busur-busur dan anak-anak panah mereka. Setelah menyingkirkan busur-busur dan anak-anak panah mereka, mereka memberi penghormatan kepada Sang Buddha dan Sang Buddha menjelaskan ajaran Dhamma kepada mereka.

Akhirnya pemburu, ketujuh putranya, dan ketujuh menantunya, semua berjumlah lima belas, mencapai tingkat kesucian sotapatti.

Kemudian Sang Buddha pulang kembali ke vihara, dan memberi tahu kepada Ananda Thera dan bhikkhu-bhikkhu lain perihal Kukkutamita dan keluarganya yang telah mencapai tingkat sotapatti pada dini hari.

Para bhikkhu kemudian bertanya kepada Sang Buddha, “ Bhante, apakah istri pemburu yang telah mencapai sotapanna, tidak bersalah melakukan pembunuhan; jika dia mengembalikan barang-barang seperti jaring, busur-busur, dan anak panah untuk keperluan suaminya pada saat hendak berburu? 

Terhadap pertanyaan itu, Sang Buddha menjawab, “ Para bhikkhu, para sotapanna tidak membunuh, mereka tidak mengharapkan yang lain terbunuh. Istri pemburu itu hanya menuruti kemauan suaminya mengambil barang-barang untuknya. Seperti halnya tangan tidak luka, tangan itu tidak dapat dimasuki racun. Juga karena dia tidak mempunyai niat melakukan kejahatan, maka dia tidak melakukan kejahatan. 

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 124 berikut:

Apabila seseorang tidak mempunyai luka di tangan, 
maka ia dapat menggenggam racun. 
Racun tidak akan mencelakakan orang yang tidak luka. 
Tiada penderitaan bagi orang yang tidak berbuat jahat.






Kisah Koka Si Pemburu


Suatu pagi, saat Koka pergi berburu dengan anjing-anjing pemburunya, dia melihat seorang bhikkhu memasuki kota untuk berpindapatta. Pemburu mengira bahwa hal itu merupakan pertanda buruk dan menggerutu pada dirinya sendiri: “ Sejak saya melihat pemandangan ini, saya mengira saya tidak akan mendapatkan hasil buruan apapun hari ini ”,

dan dia melanjutkan perjalanannya. Seperti dugaannya, dia tidak memperoleh apapun.

Pada perjalanan pulang, dia melihat kembali bhikkhu yang sama sedang berjalan pulang ke vihara setelah menerima dana makanan di kota. Pemburu itu menjadi sangat marah. Ia melepaskan anjing-anjing pemburunya ke arah bhikkhu tersebut. Dengan cepat bhikkhu itu memanjat pohon yang tidak dapat dijangkau oleh anjing pemburu. Kemudian si pemburu pergi ke bawah pohon dan menusuk tumit kaki bhikkhu tersebut dengan ujung anak panahnya.

Bhikkhu itu sangat kesakitan dan tidak mampu lagi memegang jubahnya. Jubahnya terlepas dan jatuh menutupi si pemburu yang berada di bawah pohon.

Anjing-anjing melihat jubah kuning terjatuh mengira bahwa bhikkhu tersebut telah jatuh dari pohon. Segera anjing-anjing tersebut menyambar jubah kuning dan tubuh yang terbalut di dalamnya, menggigit dan mengguling-gulingkannya dengan penuh kemarahan.

Bhikkhu itu, dari persembunyiannya di atas pohon mematahkan sebuah ranting pohon yang kering untuk menghalau anjing-anjing itu. Akhirnya anjing-anjing itu mengetahui bahwa mereka telah menyerang tuan mereka sendiri, bukan bhikkhu, dan mereka berlarian ke dalam hutan.

Bhikkhu tersebut turun dari atas pohon, dan menemukan si pemburu telah meninggal dunia. Ia merasa menyesal atasnya. Bhikkhu itu juga bertanya dalam hatinya apakah dirinya bertanggung jawab atas kematian si pemburu karena tertutup oleh jubah kuningnya?

Kemudian bhikkhu itu menghadap Sang Buddha untuk menjernihkan keragu-raguannya. Sang Buddha berkata: “Anak-Ku, pastikan dan janganlah ragu-ragu bahwa kamu tidak bertanggung jawab atas kematian pemburu. Pelaksanaan moral (sila) kamu juga tidak tercemari oleh kematian itu. Lagipula, pemburu itu mempunyai perbuatan keliru terhadap orang yang tidak berbuat salah, sehingga ia memperoleh keadaan akhir yang menyedihkan. 

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 125 berikut:

Barangsiapa berbuat jahat terhadap orang baik, orang suci, dan orang yang tidak bersalah, 
maka kejahatan akan berbalik menimpa orang bodoh itu, 
bagaikan debu yang dilempar melawan angin. 

Bhikkhu tersebut mencapai tingkat kesucian arahat setelah khotbah Dhamma itu berakhir.

Kisah Tissa Thera


Ada seorang penggosok permata dan istrinya tinggal di Savatthi. Di sana juga berdiam seorang Thera yang telah mencapai tingkat kesucian arahat. Setiap hari pasangan ini memberi dana makanan kepada thera itu.

Suatu hari ketika penggosok permata itu sedang memegang daging, utusan Raja Pasenadi dari Kosala tiba dengan membawa sebutir ruby, yang meminta untuk dipotong, dan diasah sampai mengkilap. Si penggosok permata tersebut mengambil ruby dengan tangannya yang telah terkena darah, dan meletakkannya di atas meja serta pergi ke dalam rumah untuk mencuci tangannya.

Burung peliharaan keluarga ini melihat darah melumuri ruby dan mengira barang itu adalah sepotong daging, lalu mematuk serta menelannya di hadapan sang thera.

Ketika penggosok permata selesai mencuci tangannya, dia menemukan bahwa ruby tersebut telah hilang. Dia bertanya kepada istri dan anaknya, dan mereka menjawab bahwa mereka tidak mengambilnya. Kemudian dia bertanya kepada sang thera dan mendapat jawaban bahwa sang thera tidak mengambilnya, tetapi dia merasa tidak puas. Karena tidak ada orang lain kecuali sang thera di dalam rumah. Penggosok permata berkesimpulan pastilah sang thera yang telah mengambil ruby yang berharga tersebut. Lalu dia memberi tahu istrinya bahwa dia harus menyiksa sang thera agar mengakui sebagai pencurinya.

Tetapi istrinya menjawab: “ Thera ini telah menjadi pembimbing dan guru kita selama dua belas tahun, dan kita tidak pernah melihat thera itu melakukan perbuatan jahat apa pun, janganlah menuduh thera itu. Lebih baik kita menerima hukuman dari raja daripada menuduh orang suci. 

Tetapi si suami tidak mendengarkan kata-kata istrinya. Dia mengambil tali dan mengikat thera itu serta memukulnya berkali-kali dengan sebuah tongkat, sehingga sangat banyak darah mengalir dari kepala, telinga, dan hidung. Darah itu berceceran jatuh ke lantai.

Burung penggosok permata melihat darah, lalu berharap untuk mematuknya, burung itu datang mendekat sang thera. Si penggosok permata yang pada saat itu sangat marah, menyepak burung dengan seluruh kekuatannya, sehingga burung itu mati seketika.

Kemudian thera itu berkata, “ Lihatlah, apakah burung itu mati atau tidak?

Penggosok permata menjawab: “ Kamu juga seharusnya mati seperti burung itu.

Ketika sang thera yakin bahwa burung itu telah mati, dia menjawab dengan pelan: “ Muridku, burung itulah yang menelan ruby tersebut. 

Mendengar itu, penggosok permata membelah badan burung tersebut, dan menemukan ruby di dalam perutnya. Kemudian penggosok permata menyadari bahwa dia telah bersalah dan menggigil ketakutan. Dia memohon kepada sang thera untuk mengampuninya dan terus menerima dana makanan di muka pintu rumahnya.

Thera itu menjawab, “ Muridku, ini bukanlah kesalahanmu dan juga bukan kesalahanku. Ini terjadi disebabkan oleh apa yang telah kita perbuat dalam kehidupan lampau. Hanyalah hutang kita dalam proses kehidupan (samsara). Saya tidak sakit hati terhadapmu, fakta ini terjadi karena saya memasuki rumah. Mulai hari ini, saya tidak akan memasuki rumah manapun, saya hanya akan berdiri di muka pintu. 

Segera setelah mengatakan hal ini, sang thera meninggal dunia akibat luka-lukanya.

Mendengar kejadian itu, bhikkhu-bhikkhu bertanya kepada Sang Buddha dimana pelaku kisah di atas akan terlahir kembali?

Sang Buddha menjawab, “ Burung itu terlahir kembali sebagai putra penggosok permata; penggosok permata terlahir kembali di alam neraka (Niraya); istri penggosok permata terlahir kembali di salah satu alam dewa; dan sang thera, yang telah mencapai tingkat kesucian arahat pada kehidupannya saat ini, merealisasi “Kebebasan Akhir” (parinibbana). 

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 126 berikut:

Sebagian orang terlahir melalui kandungan; 
pelaku kejahatan terlahir di alam neraka; 
orang yang berkelakuan baik pergi ke surga; 
dan orang yang bebas dari kekotoran batin mencapai nibbana.





Kisah Tiga Kelompok Orang


Kelompok pertama : Sekelompok bhikkhu dalam perjalanan mereka untuk memberikan penghormatan kepada Sang Buddha. Mereka berhenti di sebuah desa. Beberapa orang memasak makanan untuk didanakan kepada para bhikkhu. Salah satu rumah terbakar dan alarm kebakaran berkumandang di udara.

Pada saat itu, seekor burung gagak terbang mendekat dan mematuk alarm kebakaran, lalu jatuh mati di tengah-tengah desa. Para bhikkhu melihat burung gagak yang telah mati berpendapat bahwa hanya Sang Buddha-lah yang dapat menjelaskan kejahatan apa yang telah dilakukan burung gagak sehingga ia mati dengan cara itu.

Setelah menerima dana makanan, mereka melanjutkan perjalanan untuk melakukan penghormatan kepada Sang Buddha, dan juga untuk bertanya mengenai burung gagak yang malang.

Kelompok kedua : Kelompok bhikkhu lain yang sedang mengadakan perjalanan dengan sebuah kapal. Mereka juga dalam perjalanan untuk melakukan penghormatan kepada Sang Buddha, ketika mereka sedang berada di tengah lautan, kapalnya tidak dapat bergerak. Lalu undian dilakukan untuk menemukan siapa yang membuat sial. Tiga kali undian menimpa istri kapten.

Kapten kapal berkata dengan sedih, “ Banyak orang yang seharusnya tidak meninggal dunia karena wanita yang membuat sial ini; ikat sebuah pot penuh dengan pasir ke leher wanita ini dan lempar dia ke dalam laut sehingga saya tidak akan melihatnya lagi. 

Wanita itu dilempar ke dalam laut sesuai perintah kapten dan kapal pun dapat bergerak kembali.

Setibanya di tempat tujuan mereka, para bhikkhu turun dari kapal dan melanjutkan perjalanan mereka menghadap Sang Buddha. Mereka berniat bertanya kepada Sang Buddha, perbuatan jahat apa yang menyebabkan wanita malang itu dilempar ke laut.

Kelompok ketiga : Sekelompok bhikkhu yang terdiri dari tujuh bhikkhu dalam perjalanan untuk melakukan penghormatan kepada Sang Buddha. Mereka meminta keterangan pada sebuah vihara di mana terdapat tempat yang layak untuk berteduh pada malam hari di sekitar sana. Kepada mereka ditunjukkan sebuah gua, dan di sana mereka bermalam.

Tetapi di tengah malam sebuah batu karang besar jatuh dari atas dan menutupi pintu masuk gua.

Pada pagi harinya, bhikkhu-bhikkhu dari vihara di sekitar situ datang ke gua melihat apa yang terjadi dan mereka membawa orang-orang dari tujuh desa. Dengan bantuan penduduk desa, mereka mencoba menggeser batu karang tersebut. Tetapi usaha itu tidak ada gunanya. Dengan demikian, ketujuh bhikkhu terjebak di dalam gua tanpa makanan dan minuman selama tujuh hari.

Pada hari ke tujuh, batu karang itu secara ajaib bergerak sendiri, dan para bhikkhu bisa keluar dari gua, serta melanjutkan perjalanan mereka menghadap Sang Buddha. Mereka juga berniat bertanya kepada Beliau, kejahatan apa yang telah mereka perbuat sebelumnya sehingga mereka terkurung selama tujuh hari di dalam gua.

Ketiga kelompok yang melakukan perjalanan itu bertemu dalam perjalanan dan mereka bersama-sama menghadap Sang Buddha. Tiap kelompok menceritakan kepada Sang Buddha apa yang telah mereka lihat atau alami dalam perjalanannya.

Sang Buddha menjawab pertanyaan kelompok pertama: “ Para bhikkhu, dahulu kala ada seorang petani yang mempunyai seekor lembu jantan. Lembu jantan tersebut sangat malas dan juga sangat keras kepala. Lembu tersebut tidak dapat dibujuk untuk melakukan pekerjaan apapun, dia hanya berbaring mengunyah jerami atau tidur. Petani tersebut tiap kali kehilangan kesabaran disebabkan kemalasan dan keras kepalanya hewan tersebut. Dengan marah dia mengikat tali jerami di sekeliling leher lembu dan membakarnya, lembu jantan itupun mati. Disebabkan oleh kejahatan ini, petani tersebut menderita lama sekali di alam neraka (Niraya) dan untuk memenuhi sisa akibat perbuatan jahatnya, dia mati terbakar pada akhir kehidupan yang ketujuhnya. 

Sang Buddha menjawab pertanyaan kelompok kedua: “ Para bhikkhu, saat itu terdapat seorang wanita yang mempunyai anjing peliharaan. Dia selalu membawa anjing tersebut bersamanya ke manapun dia pergi. Di kota itu terdapat pemuda-pemuda yang selalu menggoda wanita itu dan anjingnya, sehingga dia sangat marah, dan merasa malu. Akhirnya ia merencanakan untuk membunuh anjingnya. Dia mengisi sebuah pot dengan pasir, mengikatkan di leher anjingnya, melemparkannya ke dalam sungai, dan anjing itupun tenggelam. Akibat dari perbuatan jahat ini, wanita tersebut menderita dalam waktu lama di alam neraka (Niraya), dan untuk memenuhi sisa akibat perbuatan jahatnya, dia telah dilempar ke dalam laut, dan tenggelam pada akhir kehidupan yang keseratusnya ”.

Sang Buddha menjawab pada kelompok ketiga: “ Para bhikkhu, saat itu tujuh orang gembala melihat seekor iguana masuk ke dalam anak bukit, dan mereka menutup ketujuh jalan keluar dari anak bukit tersebut dengan ranting-ranting dan cabang-cabang pohon. Setelah menutup ketujuh jalan keluar, mereka pergi serta melupakan iguana yang terperangkap di dalam anak bukit tersebut. Tujuh hari kemudian, mereka teringat apa yang telah mereka lakukan dan dengan cepat kembali ke tempat perbuatan usil mereka dan mengeluarkan iguana tersebut. Akibat dari perbuatan jahat ini, ketujuh orang itu telah terkurung bersama selama tujuh hari tanpa makanan dan minuman pada akhir kehidupan yang keempatbelasnya. 

Kemudian para bhikkhu berkata, “ O memang benar! Tidak ada tempat pelarian dari akibat kejahatan bagi orang yang telah melakukan perbuatan jahat, walaupun dia berada di langit, atau di dalam samudra, ataupun di dalam gua ”.

Kepada mereka Sang Buddha berkata, “ Benar, bhikkhu! Kamu benar, walaupun di langit atau di mana saja, tidak ada tempat yang tidak terjangkau oleh akibat kejahatan. 

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 127 berikut:

Tidak di langit, di tengah lautan, di celah-celah gunung atau di manapun juga, dapat ditemukan suatu tempat bagi seseorang untuk dapat menyembunyikan diri dari akibat perbuatan jahatnya. 

Semua bhikkhu tersebut mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir

Kisah Raja Suppabuddha


Raja Suppabuddha adalah ayah dari Devadatta dan ayah mertua dari Pangeran Siddhatta, yang kemudian menjadi Buddha Gotama.

Raja Suppabuddha sangat membenci Sang Buddha karena dua alasan. Pertama, karena Pangeran Siddhattha telah meninggalkan istrinya, Yasodhara, putri Raja Suppabuddha, untuk melepaskan keduniawian.

Dan kedua, karena putranya, Devadatta, yang telah diterima dalam pasamuan Sangha oleh Sang Buddha, menganggap Sang Buddha sebagai musuh utamanya.

Suatu hari ia mengetahui bahwa Sang Buddha akan datang untuk berpindapatta. Raja Suppabuddha minum-minuman yang memabukkan, sehingga dirinya mabuk dan menutup jalan. Ketika Sang Buddha dan para bhikkhu datang, Raja Suppabuddha menolak untuk memberikan jalan masuk, dan mengirim pesan yang berbunyi, “ Saya tidak dapat memberikan jalan kepada Samana Gotama, yang jauh lebih muda daripada saya ”.

Melihat jalan masuk telah ditutup, Sang Buddha dan para bhikkhu pulang kembali. Kemudian Raja Suppabuddha mengirim seseorang untuk mengikuti Sang Buddha secara sembunyi-sembunyi, dan mencari keterangan apa yang dikatakan oleh Sang Buddha serta melaporkan kepadanya.

Setelah Sang Buddha tiba, Beliau berkata kepada Ananda, “ Ananda, karena perbuatan jahat Raja Suppabuddha yang menyebabkan ia menolak memberi jalan kepada saya, tujuh hari mendatang sejak saat ini dia akan ditelan bumi, di kaki tangga menuju puncak bangunan istananya. 

Mata-mata raja mendengar hal tersebut dan melaporkan kepada raja. Raja berkata bahwa dia tidak akan pergi ke dekat tangga tersebut, dan akan membuktikan kata-kata Sang Buddha adalah tidak benar.

Kemudian raja memerintahkan pelayannya untuk memindahkan tangga tersebut, sehingga dia tidak akan menggunakannya. Dia juga menyuruh pelayan yang bertugas memberitahu untuk memegangnya jika dia pergi ke arah kaki tangga.

Ketika Sang Buddha memperoleh keterangan perihal perintah raja kepada anak buahnya tersebut di atas, Beliau berkata, “ Para bhikkhu! Walaupun Raja Suppabuddha tinggal di puncak bangunan, atau di atas langit, atau di dasar laut, atau di dalam goa, kata-kata saya tidak akan keliru. Raja Suppabuddha akan ditelan bumi di tempat yang telah saya katakan pada kalian. 

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 128 berikut:

Tidak di langit, di tengah lautan, di celah-celah gunung atau di manapun juga, dapat ditemukan suatu tempat bagi seseorang untuk dapat menyembunyikan diri dari kematian. 

Pada hari ketujuh, kira-kira pada waktu makan, kuda kerajaan ketakutan dengan alasan yang tidak diketahui, dan mulai meringkik dengan keras serta menendang-nendang dengan sangat marah. Mendengar suara ringkikan dari kudanya, Raja merasa dia harus menangani kuda peliharaannya, dan ia melupakan semua pencegahan terhadap bahaya. Dia mulai menuju pintu. Pintu terbuka dengan sendirinya, tangga yang telah dipindahkan sebelumnya juga masih di tempatnya semula, pelayan lupa mencegahnya untuk tidak turun. Kemudian Raja menuruni tangga dan segera dia melangkah di atas bumi. Bumi terbuka dan menelannya serta menyeretnya ke alam neraka Avici (Avici Niraya).

  JARASANDHA Kamsa menikah dengan dua putrid Jarasandha. Anak-anak perempuan Jarasandha ini adalah Asti dan Prapti. Mendengar bahwa Krishn...