RAJA WENA DAN PRITHU
Setelah 30 ribu tahun memerintah,
maka Dhruwa telah mempersiapkan sistem pemerintahan yang baik, serta sebuah
institusi dari kumpulan para resi sebagai Dewan Pertimbangan Agung Kerajaan.
Segala sesuatu telah dipersiapkan dengan baik dan mestinya pemerintahan
selanjutnya akan berjalan dengan lancar. Akan tetapi sebuah sistem yang baik
tetap memerlukan manusia yang handal untuk menjalankan sistemnya. Ternyata
tidak mudah mendapatkan seorang raja yang baik yang melindungi negara dan
rakyatnya serta sekaligus menjadi bhakta yang saleh. Utkala adalah putra Dhruwa
yang menggantikannya sebagai raja. Utkala adalah seorang ahli filsafat dan di
usia muda sudah mendapat gelar Brahmi. Namun ia tidak begitu memperhatikan
kepemerintahan. Dia tidak menjaga kemuliaan dan kewibawaan sebagai seorang
raja.
Para resi akhirnya memilih
Watsara, adik Utkala sebagai penggantinya. Selanjutmya setelah Utkala sudah
merasa tua maka dia menunjuk putranya, Anga sebagai raja penggantinya. Pada
suatu hari, Anga yang belum dikaruniai seorang putra mengadakan upacara
Aswamedha, persembahan kepada Narayana, akan tetapi sampai akhir upacara tidak
ada dewa yang hadir. Sang Raja merasa sangat sedih dan bertanya kepada para
bijak, apakah kesalahannya sehingga para dewa tidak berkenan hadir. Para resi
menjawab, bahwa tidak ada sesuatu yang salah dalam upacara tersebut. Bisa jadi
dikarenakan kesalahan sang raja dalam kelahiran sebelumnya. Kemudian para resi
menyarankan sebaiknya raja mengadakan upacara yang lain untuk meminta putra
terlebih dahulu.
Sebagai seorang raja tentu saja
dia berhasrat mempunyai seorang putra yang dapat meneruskan tahtanya setelah
dia memasuki usia tua. Sang raja tidak sadar bahwa waktunya belum tepat. Sang
raja masih diliputi suasana kekecewaan dan kemarahan kepada para dewa yang
tidak berkenan menerima persembahannya. Sang raja dan para resi mempersiapkan
Upacara Yajna untuk memohon putra. Manakala upacara berakhir, keluar sebuah
bentuk api yang memakai perhiasan serba keemasan dan membawa periuk emas menuju
sang raja. Raja menerima “payasa”, sejenis makanan dari beras bercampur susu.
Payasa tersebut kemudian diberikan kepada Sunita sang permaisuri untuk
dimakannya. Setelah beberapa waktu seorang putra lahir dan dinamakan Wena.
Sejak kecil Wena ternyata mempunyai sifat adharma. Ia suka sekali membunuh
binatang, walaupun binatang yang tidak berbahaya dan tidak mengganggu manusia.
Ia ringan tangan dan sangat kejam sehingga semua orang menghindarinya. Bila ada
orang yang tidak disenanginya, maka dia tak segan untuk membunuhnya. Sang raja
telah berupaya mendidiknya dan mendatangkan para resi untuk menunjukkan jalan
yang benar. Akan tetapi semuanya kewalahan, karena Wena mempunyai sifat kepala
batu dan selalu merasa paling benar sendiri.
Sang raja sangat sedih dan makan
hati melihat kelakuan putranya. Dia berkata pada dirinya sendiri, “Adalah
salahku sendiri yang mempunyai obsesi untuk memperoleh seorang putra. Akan
tetapi putraku sangat mengecewakan diriku. Ternyata lebih berbahagia orang yang
tidak punya putra dibandingkan dirinya yang mempunyai putra yang memalukan.
Orang menganggap aku seorang raja yang tidak mampu mendidik putraku sendiri.
Aku telah menerima aib dan kebencian dari semua rakyatku karena perbuatan
putraku.” Perasaan tersebut sangat menggelisahkannya, sampai suatu saat datang
sebuah kesadaran kepada sang raja, “Bagaimana pun jahatnya anakku, manakala aku
berpikir tentang Tuhan, kurasakan bahwa Tuhan telah sangat berbaik hati
kepadaku. Tuhan telah membimbingku ke arah yang benar. Kusadari bahwa selama
ini aku telah begitu terikat dengan kemewahan dan kemegahan istana serta
melupakan-Nya. Kesadaran seseorang yang selalu mengalir keluar seperti diriku,
tidak mungkin membuatku mengenal Tuhan yang berada dalam diriku. Ternyata
kesenangan pikiran dan indra manusia terhadap obyek yang di luar itu tidak
pernah membahagiakan. Aku menderita kala upacara Aswamedha tidak diterima para
dewa. Dan kemudian datang kebahagiaan saat aku mendapatkan seorang putra.
Sekarang aku menderita karena ulah kejahatan putraku. Tuhan telah berbuat baik
hati kepadaku dengan memberikan putra yang tidak baik. Karena ketidakbaikan
putraku, aku menjadi tidak suka terhadap istana dan kehidupan duniawiku. Aku
menjadi sadar sudah waktunya bagiku untuk meniti kembali ke dalam diri.
Keterikatanku pada istana dan keluarga telah dipotong oleh pisau tajam
kejahatan putraku.” Dan akhirnya, pada suatu malam sang raja Anga meninggalkan
istana dan tidak pernah kembali.
Selama ini Raja Anga selalu
tergantung dengan obyek di luar diri. Raja Anga belum belajar untuk mencintai
diri sendiri apa adanya, dia selalu mengkaitkan dirinya dengan kekayaan,
kekuasaan dan kerabatnya, dan tatkala anaknya mengecewakannya dia bahkan
menjadi benci kepada dirinya sendiri. Para resi segera mengadakan pertemuan dan
memutuskan bahwa raja harus segera diganti. Tanpa seorang raja, para perampok
dan penjahat akan merajalela, oleh karena itu tak ada pilihan lain selain
mengangkat Wena sebagai raja. Setelah Wena menjadi raja. Ia menjadi mabuk akan
kekuasaan dan kekayaan. Ia menjadi semakin angkuh dan semakin jahat. Ia
memerintahkan larangan terhadap semua upacara persembahan bagi Tuhan. Seluruh
rakyatnya harus patuh kepada sang raja tanpa terkecuali. Mereka yang melawan
diteror oleh Wena dan kaki tangannya. Para punggawa yang jahat mendapatkan
kesempatan dan mereka yang baik disingkirkan. Para resi kembali berada dalam
dilema, ternyata mempunyai raja yang lalim juga membuat rakyat menderita.
Mereka melihat bahwa Wena sangat dipengaruhi oleh sifat hewani yang serakah,
mau menang sendiri dan menggunakan kekerasan untuk mencapai apa yang
diinginkannya. Rakyat sekarang menderita karena rajanya lalim dan tidak menderita
karena para perampok dan penjahat. Suasana kerajaan seperti ini tidak dapat
dipertahankan lebih lama lagi.
Mereka mencoba mengingatkan sang
raja bahwa tugas raja adalah melindungi rakyat dan bukan mengganggunya. Akan
tetapi Wena justru berkata bahwa yang melakukan adharma adalah para resi.
Karena mereka taat pada dewa dan bukan pada raja, padahal raja adalah pelindung
mereka. “Aku adalah wujud Narayana sendiri yang perlu kau sembah dan kau puja.”
Para bijak sangat kecewa dan sadar apabila pemerintahan sang raja diteruskan,
maka negara berada dalam ambang kehancuran. Para resi berdoa kepada Narayana
agar Wena cepat mati dan akhirnya Wena mati.
Ada suatu hal yang dilupakan oleh
para resi. Mereka tidak paham dengan penderitaan Ibu Bumi. Mereka lupa bahwa
Ibu Bumi sangat kelelahan mendapatkan penghuni kejam seperti Wena.
Binatang-binatang yang hidup di atasnya diburu dan dibunuh hanya untuk
kesenangan. Hutan-hutan dibabat hanya untuk menyenangkan orang-orang serakah.
Setiap malam Ibu Bumi mendengarkan rintihan rakyat yang menderita dalam
ketakutan. Para punggawa yang jujur justru disudutkan dan dibuat tidak berkutik
dan hanya bisa berdoa penuh keputusasaan. Emas di dalam bukit ditambang
semena-mena dan dipakai perhiasan para punggawa yang pongah. Para pekerja hanya
dibayar dengan upah yang kecil dan tidak berani protes atau nyawanya akan
terancam. Ibu bumi semakin tertekan.
Kondisi semakin parah kala Wena
mati, para punggawa jahat semakin merajalela. Ditambah perampok dan penjahat
bergerak di seluruh pelosok negeri. Para resi sadar bahwa keputusan mereka
untuk mengusulkan Raja Anga mempunyai seorang putra, keputusan mereka mengganti
Raja Anga yang meninggalkan istana dengan Wena, dan keinginan mereka agar Wena
mati, ternyata membawa dampak yang sangat besar. Rakyat dan alam menjadi sangat
menderita. Mereka baru sadar, bahwa mereka hanya menggunakan pikiran mereka.
Dan pikiran mereka tidak menjangkau situasi yang akan terjadi di masa depan.
Akhirnya mereka pasrah kepada Tuhan, bagaimana baiknya menyelesaikan masalah
dunia yang terlanjur rusak tersebut. Para resi seakan-akan mendapat petunjuk
untuk menggunakan pengetahuan rahasia yang pada saat ini setara dengan kloning
manusia. Para resi tahu bahwa Sunita ibu Wena sangat sayang kepada putranya dan
tidak rela putranya dikremasi. Sunita telah memberikan obat agar jasad putranya
masih utuh. Para resi sadar bahwa dalam diri Wena terdapat potensi pembawa
kejahatan yang muncul karena frustrasi orang tuanya saat persembahan mereka
ditolak para dewa. Disamping itu, para resi juga sadar bahwa dalam diri Wena
terdapat genetik potensi kebaikan sebagai genetik turunan dari Dhruwa. Para
resi kemudian datang kepada Sunita dan mohon ijin untuk membuat putra dari
jasad Wena.
Dari paha Wena, para resi
menghasilkan seorang bayi yang hitam dan buruk rupa yang diberi nama Nisadha
yang setelah remaja akan pergi dari istana. Anak keturunan Nisadha juga akan
dipanggil dengan sebutan Nisadha. Demikian, lahirlah kelompok manusia yang
disebut Nisadha yang akan sering disebutkan dalam kisah-kisah Srimad
Bhagawatam. Kemudian dari lengan Wena dilahirkan seorang bayi laki-laki yang
diberi nama Prithu dan seorang bayi perempuan yang diberi nama Archis. Kedua
bayi tersebut adalah titisan dari Narayana dan Laksmi. Mereka akan menjadi
suami istri dan dunia menjadi besar pada masa pemerintahan Raja Prithu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar